Selasa, 03 Agustus 2010

Sekali Lagi Tentang Freeport

        Aktivitas pertambangan PT Freeport di Papua sejak 1967 telah berlangsung selama 42 tahun. Aktivitas yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini kemudian menimbulkan masalah bagi lingkungan di sekitar wilayah perambangan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Pun mengubah bentang alam seluas 166km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa.
       Limbah tailing PT Freeport juga telah mencemari perairan di muara sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup serta mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar. Di sisi lain, dari tahun ke tahun PT Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia.
       Para petinggi PT Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1,5 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan PT Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua.
       Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan Nomor 11/1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.
        Pada Maret 1973, PT Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan ini selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada tahun 1988, PT Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg. Dari eksplorasi ini, sekitar 7,3 ton tembaga dan 724, 7 ton emas telah mereka keruk.
       Pada Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m.[1] Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga penutupan tambang pada 2041.
PT Freeport mengelola tambang terbesar di dunia, yang didalamnya mengandung 50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Tetapi kehadiran PT Freeport sekaligus menunjukan bahwa usaha pertambangan yang dilakukannya hanya mensejahterakan segelintir orang, merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.
Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran PT Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi PT Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah PT Freeport.
Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS berad di Papua. Keberadaan PT Freeport juga menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia di masa lalu dan kini.
Ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini,  tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah bahkan terkesan diabaikan....
by. Rahma Widhiasari
[untuk lebih lengkapnya, dapat membaca tulisan Rahma Widhiasari, di buku Mengguga Pengelolaan SDA]


[1] Meumunah, S. 2006. Freeport.: Bagaimana Pertambangan Emas dan Tembaga Raksasa Menjajah Indonesia. Walhi dan Jatam. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar