Selasa, 03 Agustus 2010

Lonceng Kehancuran Pertambangan Timah Bangka Belitung


Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah cadangan yang berlimpah. Cadangan timah ini, merupakan bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia.
Di Indonesia sendiri,  wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada 1711, di Singkep pada 1812, dan di Belitung sejak 1852.

Namun, aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT Timah Tbk., 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah pulau penghasil timah itu,  Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Pulau Bangka yang luasnya mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya  merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di pulau ini dikuasai oleh PT Tambang Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah Tbk. Mereka menguasai arae KP seluas 321.577 ha.

Sedangkan PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25 persen sahamnya dikuasai PT Timah Tbk dan 75 persen lainnya milik Malaysia Smelting Corporation, menguasai area KP seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain itu terdapat sejumlah smelter swasta lain dan para penambang tradisional yang sering disebut tambang inkonvensional ( TI ).

Pemberian izin TI di Bangka Belitung, sebenarnya mendukung usaha pertambangan PT Timah Tbk sebagai BUMN dan PT Kobatin. Sebab, kedua perusahaan tersebut  tidak perlu membuka area penambangan baru. Namun, keberadaan TI ini pada akhirnya justru memperburuk ketersediaan logam timah di Bangka Belitung dan membuat rusak lingkungan wilayah Bangka Belitung karena penambangan dilakukan di semua tempat.

Di sisi lain, penambangan timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal, cadangan timah yang ada kian menepis pula. Tak heran jika kemudian pertambangan timah di Bangka Belitung membawa dampak sosial berupa masalah kemiskinan dan kecemburuan sosial di sekitar wilayah pertambangan.

Hal krusial yang memantik masalah itu muncul karena potensi timah yang berlimpah itu belum diatur secara optimal. Sehingga pendapatan berlimpah dari aktivitas penambangan pada akhirnya belum mampu mendukung bagi terwujudnya kemakmuran rakyatnya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya  penyelundupan timah yang dilakukan melalui aktivitas  penambangan illegal. 

Mestinya,  BUMN di bidang pertambangan timah berperan lebih besar agar hasil penambangan seluruhnya masuk ke kas negara.

Bila kondisi seperti itu terwujud, jumlah produksi timah Indonesia bisa menyamai bahkan melampaui Cina yang mencapai 130 ribu ton per tahun. Melalui penambangan legal, Indonesia menghasilkan timah sebesar 71.610 ton per tahun. Dari penambangan ilegal, sebanyak 60 ribu ton per tahun. Mekanisme pertambangan timah di Indonesia bisa dikatakan masih jauh dari prinsip demokrasi ekonomi. Sebab, endapan timah yang merupakan kekayaan nasional bangsa Indonesia belum sepenuhnya dimanfaatkan sesuai amanat UUD 1945 pasal 33. Kekayaan itu harus digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi, negara harus mampu menguasai secara efektif dan memanfaatkan sumber daya itu demi kemakmuran rakyatnya.

Sudah menjadi kewajiban semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat memanfaatkan potensi tambang bagi kemakmuran rakyat. Namun itu belum mewujud dalam pengelolaan pertambangan timah yang ada di sepanjang Pulau Bangka, Belitung, Singkep, dan Karimun-Kundur. Padahal, Indonesia diakui sebagai penghasil timah terbesar kedua di dunia setelah Cina. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bisa disebuat sebagai negara yang masih memiliki kandungan timah berlimpah.

Sayang, potensi timah yang bisa membawa Indonesia menuai pendapatan berlimpah untuk kemakmuran rakyatnya belum diatur secara optimal. Masih sering terjadi penyelundupan timah melalui penambangan ilegal. Bayangkan saja, penambangan ilegal mampu menghasilkan 60 ribu ton per tahun, tak begitu beda jauh dengan jumlah produksi penambangan legal sebesar 71.610 per tahun. Hasil penambangan ilegal tentu tak masuk ke dalam kas negara.

Biasanya, timah dari aktivitas penambangan ilegal itu dipasarkan ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Cina. Menurut Batubara (2008), ada sejumlah masalah yang mestinya segara mendapatkan solusi. Di antaranya, belum optimalnya kebijakan nasional, peraturan yang bermasalah, penegakan hukum yang tidak konsisten, KKN berbagai oknum, pencurian, penyeludupan, perusakan lingkungan, dominasi asing dan pemilik modal, serta kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat.

Seluruh masalah ini saling terkait dan telah berkontribusi terhadap tidak optimalnya hasil tambang timah bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah belum dapat menyeimbangkan aspek-aspek pendapatan negara, reservasi atau pengamanan cadangan timah, dan pemberdayaan ekonomi atau kehidupan rakyat. Penambangan dilakukan hanya berdasarkan upaya untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan.

Dengan total cadangan yang terbatas sekitar 1 juta ton, timah Indonesia diperkirakan hanya akan bertahan 12 tahun kedepan atau paling lama 15 tahun jika cadangan baru ditemukan. Undang-undang dan peraturan seputar tambang timah sebagian tidak relevan dan tidak sejalan dengan kepentingan nasional. Demikan pula dengan penegakan hukum di lapangan, yang sering tidak konsisten dan bermasalah. Pemerintah, belum optimal mengatur mekanisme penambangan timah.

Hingga  2009,  penyelundupan timah masih marak terjadi. Pemerintah tidak tegas memberikan sanksi terhadap para pelaku penyelundupan timah. Sejauh ini, pertambangan dilakukan untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan tanpa penghematan. Hal ini kemudian memberikan peluang bisnis terhadap para investor asing dan domestik.  Bahkan, tercatat sejumlah cukong dari Jakarta menguasai tambang timah ilegal melalui konsorsium yang beranggotakan banyak perusahaan.

Diizinkannya tambang inkonvensional (TI), sebenarnya mendukung produksi  PT Timah Tbk sebagai BUMN dan PT Kobatin. Kedua perusahaan bahkan tidak perlu membuka area penambangan, karena penambang inkonvensional yang membuka lahan pertambangan dan mengeksploitasi timah. Namun, hal itu justru memperparah ketersediaan cadangan logam timah di Bangka Belitung. Penambang inkonvensional terus menambang bahkan hutan lindung pun menjadi sasaran mereka.

Penambang inkonvensional tidak memperhitungkan cadangan sumberdaya timah yang ada. Mereka secara terus-menerus mengeksploitasi wilayah pertambangan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. US Geological Survey 2006 menyatakan, cadangan terukur timah di Indonesia hanya 800 ribu sampai 900 ribu ton. Ekspor setahun rata-rata 60 ribu ton setara dengan 90 ribu ton pasir. Berarti cadangan tinggal 10 tahun lagi, atau sekitar tahun 2015, pertambangan timah hanya akan meninggalkan tanah dan buruh tambang di Bangka Belitung.

Ketersediaan timah yang semakin menipis ini seharusnya diperhitungkan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), serta pemerintah daerah setempat. Sebab, produksi timah cukup berkontribusi bagi pembangunan ekonomi. Pemerintah juga harus memperhitungkan keberlanjutan ekonomi masyarakat Bangka Belitung jika cadangan timah habis, karena bisa menurunkan kesejahteraan masyarakat atau bahkan menambah angka kemiskinan di negara ini.

by. Rahma Widhiasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar