Selasa, 03 Agustus 2010

Mencermati Penanganan Pencemaran Laut Timor dan Lapindo

Pada tanggal 21 Agustus 2009 kilang minyak Montara meledak, dan mengakibatkan pencemaran minyak di Laut Timor serta menurunkan tangkapan nelayan. Hampir setahun setelah peristiwa tumpahan minyak terjadi, pemerintah baru mengumumkan akan mengajukan klaim ganti rugi tumpahan minyak pada PT TEP, perusahaan penyebab pencemaran. Pada tanggal 27 Juli 2010, dalam rapat dengar pendapat di hadapan Komisi VII, Menteri Perhubungan, Freddy Numberi memaparkan akan meminta uang muka (down payment) pembayaran ganti rugi tumpahan minyak mentah di Laut Timor kepada PT TEP Australasia senilai US$ 5 juta. 

Berdasarkan perhitungan sementara oleh tim pemerintah, menyebutkan kerugian langsung dari tumpahan minyak tersebut mencapai Rp 289 miliar, dimana Rp 42 miliar diantaranya merupakan kerugian langsung kepada masyarakat. Angka ini lebih rendah dari perhitungan oleh LSM daerah setempat yang memperkirakan kerugian dari tumpahan minyak tersebut sekitar Rp 806,168 miliar. Kerugian itu memperhitungkan ekosistem terdampak dan upaya pemulihannya. Meski pemrintah terkesan terlambat merespon, namun rakyat tetap berharap pemerintah benar-benar menindaklanjuti klaim ganti rugi pada PT TEP Australasia.

Kemudian jika membandingkan dengan kasus Lapindo, banyak pihak menilai pemerintah telah gagal menangani kasus Lapindo. Hingga saat ini, aktivitas ekonomi Sidoharjo belum dapat dipulihkan, terdapat lebih dari 15 pabrik tergenang dan menghentikan aktivitas produksi. Angka pengangguran meningkat, lebih dari 1.873 orang kehilangan pekerjaan. Penanganan kasus Lapindo pun tidak mampu menyeret perusahaan yang mangakibatkan semburan lumpur, seluruh biaya penanganan kasus Lapindo menjadi tanggungan pemerintah. Akibatnya, uang rakyat dari APBN telah tersedot sebesar Rp4 triliun, yakni Rp450 miliar pada 2007, Rp1,57 triliun (2008), Rp1,15 triliun (2009), dan Rp1,2 triliun pada 2010. Penanganan Lapindo kembali akan menggunakan dana APBN, yakni pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, biaya untuk penangangan lumpur Lapindo (bukan penghentian semburan) dialokasikan sebesar Rp 7,2 trilyun. 

Pada Juni 2010, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo mengajukan anggaran penanganan semburan lumpur sepanjang 2011 sebesar Rp1,286 triliun. Hal ini cukup kotrovesial, karena lagi-lagi dana APBN yang akan digunakan untuk menanggulangi luapan lumpur Lapindo. Kemudian, sebagian ahli berpendapat semburan lumpur bisa ditutup, namun sebagian ahli lainnya menyatakan semburan itu tidak bisa ditutup. Tulisan ini akan membahas dan mengkritisi langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk menangani kasus Laut Timor dan kasus Lapindo.


Penanganan Laut Timor 

Sekitar 3000 barel/hari semburan minyak Montara di Laut Timor (WWF, 2009), terjadi akibat ledakan pada rig West Atlas, platform sumur minyak Montara di Laut Timor yang terletak sekitar 690 km arah barat Darwin. Ini telah mengakibatkan pencemaran laut di perairan Australia Barat, Timor Leste dan Indonesia. Tumpahan minyak berlangsung selama 74 hari, hingga 3 Nopember 2009. Operasi penyelamatan berlangsung setelah 5 kali percobaan, dan kebocoran berhasil ditutup menggunakan lumpur sebanyak 3400 barel yang dipompakan ke sumur minyak. West Atlas dimiliki oleh Seadrill dari Norwegia yang menyewakan rig tersebut kepada PTT Exploration and Production (PTTEP) Australasia, yang 100% sahamnya dimiliki oleh pemerintah Thailand. 

Kebocoran minyak diperkirakan sekitar 2000 barel per hari. Pada bulan Oktober 2009, seperti dikonfirmasi PT TEP, penyebaran minyak telah mencapai area seluas 6000 km2, mengalir sepanjang 120 km, hingga perairan Indonesia. Tumpahan minyak blok Montara telah mengakibatkan kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan yang berdampak turunan. Bencana ini merugikan ribuan nelayan dan pembudidaya rumput laut NTT, menurunkan fungsi kelautan, mematikan biota laut dan menurunkan keanekaragaman hayati, serta berpotensi menimbulkan dampak turunan berupa pengangguran dan menambah angka kemiskinan. Namun sangat disayangkan, meskipun telah berlangsung berbulan-bulan pemerintahan SBY bergeming. 

Setelah makin maraknya protes masyarakat, LSM dan media-lah akhirnya pada tanggal 22 Juli 2010 lalu, Presiden SBY menyatakan akan mengajukan klaim ganti rugi kepada PTTEP. Sikap Presiden SBY ini sangat jauh berbeda dengan sikap Obama yang dalam waktu kurang dari 2 bulan berhasil memperoleh komitmen BP untuk membayar kerugian minimal US$ 20 miliar. Obama juga berhasil memenuhi tuntutan rakyatnya yang akan menerima ganti rugi dan bantuan dana akibat pencemaran. Ini memang tidak sebanding dengan sikap Presiden SBY, yang terkesan lambat menyikapi kasus Laut Timor. Pada 27 Juli, dihadapan Komisi VII DPR, Menteri Perhubungan, Fredi Numberi menyatakan akan meminta DP dahulu, sebesar US$ 5 juta. Fredi mengungkapkan mudah-mudahan PT TEP menyetujui dan dana tersebut bisa dipakai untuk recovery awal yang langsung kepada masyarakat. Berdasarkan pernyataan ini saja kita dapat melihat sedemikian tidak percaya dirinya pemerintahan kita, yang akan mengajukan DP pada PT TEP, padahal telah diketahui bahwa PT TEP yang menyebabkan kecelakaan dan pemerintahan kita memiliki hak untuk menuntut ganti rugi. Kabarnya, PT TEP pun telah berkomitmen untuk mengganti rugi biaya kerusakan lingkungan pada Pemerintah Australia.

Langkah meminta DP terlebih dahulu pun dinilai tidak efesien, seharusnya pemerintah lebih dulu menghitung total biaya lingkungan, sosial dan pemulihan, baru mengajukan klaim ganti rugi. Kemudian, harus didiskusikan kembali langkah pembayaran uang ganti rugi tersebut. Sehingga pemerintah memiliki jaminan hukum jika kesepakatan pemerintah dan PT TEP dicapai. Masyarakat pesisir pun mendapat kepastian berkenaan ganti rugi mereka.

Kasus Lapindo 

Bencana semburan lumpur panas Lapindo telah 4 tahun berlalu, namun hingga kini Kabupaten Sidoarjo belum dapat pulih. Bahkan, sekitar 50 ribu keluarga atau 40 persen warga korban lumpur Lapindo yang masuk dalam peta terdampak, hingga kini belum mendapat ganti rugi. Angka itu masih lebih sedikit ketimbang jumlah korban yang tidak tercatat.

Kemudian, yang perlu dikritisi adalah langkah Badan Pengendalian Lumpur Sidoharjo (BPLS), yang bulan Juli lalu kemabali mengajukan anggaran. Pada rapat penyusunan APBN 2011, di hadapan Komisi V DPR, BPLS mengajukan anggaran penanganan semburan sebesar Rp 1,286 triliun. Terdapat dua hal yang perlu dikritisi dalam pengajuan anggaran ini. Pertama, BPLS justru tidak mengusulkan anggaran penghentian lumpur dari areal konsensi PT Lapindo Brantas. Biaya tersebut akan digunakan sebagai biaya pengalihan 32 juta meter kubik lumpur ke Sungai Porong, bantuan untuk warga dan pengehentian infrastruktur. BPLS menyatakan bahwa semburan tidak dapat dihentikan, dan semburan tidak dapat ditutup. Jika pernyataan BPLS ini benar, maka diperlukan penelitian lebih mendalam berkenaan dengan langkah teknis yang tepat agar semburan lumpur ini dapat dikendalikan. Kedua, berkenaan dengan data yang direlease BPLS bahwa semburan lumpur Sidoarjo mencapai 1 juta barrel per hari. Ini adalah angka semburan yang sangat besar, dan data ini jauh berbeda dengan data yang dikeluarkan lembaga pemerintah lainnya. Berdasarkan data KLH, semburan lumpur Lapindo sekitar 150.000-200.000 barel per hari.

Hal lain yang perlu dikritisi adalah, perusahaan yang menyebabkan semburan lumpur panas Lapindo tidak dituntut ganti rugi, sebagian besar biaya penanganan Lapindo ditanggung pemerintah. Sekitar Rp 8, 37 triliun dana pemerintah telah digunakan untuk menangani Lapindo. Kemudian dalam RPJM 2010-2014, biaya untuk penangangan lumpur Lapindo (bukan penghentian semburan) dialokasikan sebesar Rp 7,2 trilyun. Perpres 14 Tahun 2007 yang ditandatangani presiden memutuskan bahwa biasa masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak dibebankan pada APBN. Peepres juga mengatur bahwa biaya upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur dibebankan pada APBN dan sumbangan lain. 

Penanganan masalah Lapindo saat ini dianggap masih belum serius dan konkret. Semisal, penanganan masalah pendidikan, kesehatan, pengangguran, perekonomian dan infrastruktur akibat lumpur Lapindo masih belum teratasi. Relokasi infrastruktur hingga saat ini seperti jalan arteri Raya Porong dan tol Porong-Gempol pun belum terwujud. Sementara, sekitar 50 ribu keluarga atau 40 persen warga korban lumpur Lapindo yang masuk dalam peta terdampak, hingga kini belum mendapat ganti rugi. 

Mantan menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witular pada bulan Juni 2009 menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo bukan bencana alam. Sehingga, tidak seharusnya pemerintah mengambilalih tanggung jawab perusahaan yang menyebabkan bencana. Ini jauh berbeda dengan langkah Obama yang kemudian berhasil membuat BP membayar ganti rugi. Sementara, Lapindo justru menikmati hasil kompromi politik yang sangat menguntungkan, dan negara ikut menanggulangi luapan lumpur. 

Terakhir, kita harus belajar dari sikap bertanggungjawab BP yang telah berupaya maksimal dan berhasil memberhentikan bocoran minyak pada medan yang sulit di laut dalam Teluk Meksiko dalam waktu yang relatif singkat (sekitar 86 hari). Sedangkan Lapindo, meskipun telah 4 tahun berlalu, lumpur panas masih terus menyembur, dan dengan alasan debit bocoran lumpur yang lebih besar dibanding bcoran minyak Teluk Meksiko, BPLS menganggap upaya penghentian semburan tidak perlu dilanjutkan. Kami memperkirakan, karena wilayah Lapindo di darat, operasi penghentian semburan akan lebih mudah (dibanding laut dalam), sehingga prospektif untuk berhasil. Oleh sebab itu, kita layak menuntut agar penghentian semburan lumpur Lapindo tetap dilanjutkan dan hal ini perlu persiapan penanganan yang lebih komprehesif, melibatkan pihak-pihak yang lebih luas dan dukungan dana yang besar.

Simpulan

Penyelesaian kasus Lapindo masih sangat jauh dari rasa keadilan: jangankan meminta perusahaan menanggung biaya penanggulangan dan biaya memberhentikan semburan sekaligus seperti dialami BP, untuk penanggulangan akibat semburan saja negara harus ikut menanggung beban. Hal yang sama terjadi pada kasus Montara dimana pemerintah bertindak sangat lamban dan abai melindungi kehidupan ekonomi rakyat dan menjaga martabat dan harga diri bangsa. Pemerintah tidak mampu menjalankan perannya sebagai wakil negara dan rakyat sehingga rakyat dan bangsa Indonesia sangat dirugikan. Pemerintah perlu meminta agar perusahaan, baik Lapindo maupun PTTEP menjunjung tinggi nilai etika/moral, menerapkan prinsip-prinsip GCG dan menunjukkan peran dan tanggungjawab kemanusiaan yang nyata dalam tatanan bisnis global agar kedua kasus pencemaran dapat diselesaikan secara adil dan bermoral. 


by. Rahma Widhiasari






Tidak ada komentar:

Posting Komentar