Rabu, 25 Agustus 2010

Berdayakan Perempuan Untuk Pembangunan Berkelanjutan

Pendidikan Pemberdayaan Perempuan:  Dalam Model Pemanfaatan
Sumber Daya Air Berkelanjutan[1]

A. Pembangunan Berkelanjutan
Komisi Brundtland yang menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembangunan berkelanjutan, menurut  Haris (2000) dalam Fauzi (2004) bahwa konsep keberlanjutan dapat diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu:

  1. Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri.
  2. Keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari eksploitasi sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungis ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi.
  3. Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.
Pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi (economic objective), tujuan ekologi (ecological objective) dan tujuan sosial (social objective). Tujuan ekonomi terkait dengan masalah efisiensi (efficiency) dan pertumbuhan (growth); tujuan ekologi terkait dengan masalah konservasi sumberdaya alam (natural resources conservation); dan tujuan sosial terkait dengan masalah pengurangan kemiskinan (poverty) dan pemerataan (equity). Dengan demikian, tujuan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya harmonisasi antara tujuan ekonomi, tujuan ekologi dan tujuan sosial (Munasinghe, 1993).

Dalam Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan, berdasarkan publikasi Our Common Future, terdapat 22 prinsip pembangunan berkelanjutan. Salah satu prinsip pembangunan berkelanjutan adalah: Perempuan mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan. Partisipasi kaum perempuan diperlukan untuk mencapai pembangunan berlanjut. Perempuan dapat mengambil peran dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pemahaman dan pengetahuan mereka. Oleh karena itu, kaum perempuan perlu dimotivasi apa yang menjadi keinginan mereka, serta menguatkan partisipasi mereka secara efektif dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.


B. Pemanfaatan Sumber Daya Air Bekelanjutan
Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam produksi pangan, transportasi, produksi pertanian, dan sebagainya. Jika air tidak tersedia maka proses produksi akan terhenti. Ini berarti bahwa sumberdaya air menjadi faktor kunci untuk keberlanjutan pembangunan. Dalam pemanfaatan sumber daya air terdapat  berbagai permasalahan diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Gejala Krisis Air di Beberapa Wilayah Indonesia

Di beberapa wilayah Indonesia gejala krisis mulai tampak. Krisis air dapat diukur dari Indeks Penggunaan Air (IPA) yaitu rasio antara penggunaan dan ketersediaan air. Semakin tinggi angka IPA semakin sedikit ketersediaan air di suatu wilayah. Apabila angka IPA berkisar antara 0,75-1,0 maka dikatakan keadaan “kritis”. Jika lebih dari 1,0 maka suatu wilayah dikatakan “sangat kritis” atau defisit air, sedangkan jika IPA-nya berkisar antara 0,30-0,60 tergolong “normal” dari segi ketersediaan air.

Pada tahun 2010 Jawa, Madura dan Bali diperkirakan sudah termasuk kategori“sangat kritis” karena untuk Jawa dan Madura diduga mempunyai IPA sebesar 1,89 dan Bali 1,13. Nusa Tenggara Barat tergolong dalam keadaan “kritis” dengan IPA 0,92. Di daerah-daerah lain kecuali Nusa Tenggara Timur (dengan IPA sekitar 0,73) kondisinya relatif masih baik karena mempunyai IPA di bawah 0,50 ( Osmet, 1996; dan Sugandhy, 1997). Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung boros dalam memanfaatkan air, karena air sebagai milik umum (common property) dianggap tidak terbatas adanya dan karenanya dapat diperoleh secara gratis. Padahal, air sebagai sumber daya alam, adalah terbatas jumlahnya karena memiliki siklus tata air yang relatif tetap.

Melihat kondisi di atas, persaingan dalam pemanfaatan air akan semakin tajam pada masa-masa mendatang, maka air terlebih lagi air bersih (air minum) relatif semakin langka dan karenanya akan menjadi economic good. Suatu saat mungkin akan terjadi suatu situasi dimana kalau si pengguna tidak punya uang untuk membayar air yang dibutuhkannya maka ia tidak akan mendapatkan air (no money no water). Dengan demikian, gejala krisis air menuntut pengelolaan sumberdaya air yang lebih cermat, lebih hemat dan lebih efisien.

2. Degradasi Sumberdaya Air

Keluhan-keluhan disertai protes oleh masyarakat tentang adanya pencemaran air telah bermunculan di beberapa tempat sebagai akibat adanya limbah industri termasuk limbah dari industri pariwisata seperti hotel dan restoran. Kecenderungan menurunnya kualitas air akan meningkat seiring dengan meningkatnya perkembangan industri yang mengeluarkan limbah, pertumbuhan perumahan secara eksponensial dan pertambahan penggunaan bahan-bahan organik sintetis. Di Sungai Ciliwung, pada bagian hilir (ruas Manggarai-Ancol) kualitas air telah tercemar berat, bahkan kualitas air telah melebihi baku mutu kelas IV, atau tidak dapat digunakan untuk menyiram tanaman. Sedangkan ruas Sungai Ciliwung, dari Kelapa Dua hingga Manggarai, hanya dapat digunakan untuk menyiram tanaman (Widhiasari, 2010).

Intrusi air laut juga telah terjadi di beberapa tempat karena eksploitasi yang berlebihan terhadap air tanah. Pembabatan hutan dengan semena-mena tanpa kendali mengakibatkan berkurangnya kuantitas air dan tidak jarang menimbulkan banjir terutama pada musim penghujan. Air tanah dan air permukaan mulai terkontaminasi zat-zat kimia yang mengandung racun akibat limbah industri, limbah dari saluran irigasi yang mengandung pestisida maupun limbah domestik. Degradasi sumber daya air dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat. Air irigasi yang tercemar juga dapat berakibat buruk terhadap hasil panen, sehingga secara keseluruhan tercemarnya sumber daya air dapat mengancam kesejahteraan masyarakat.

3. Konflik Akibat Persaingan yang Semakin Tajam antar Pengguna Air

Meningkatnya pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk serta pembangunan di segala bidang menuntut terpenuhinya kebutuhan air yang terus meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Persaingan yang menjurus ke arah konflik kepentingan dalam pemanfaatan air antara di berbagai sektor yang cenderung meningkat di masa-masa mendatang.

Konflik akibat persaingan dalam pemanfaatan air sudah sering terjadi di kalangan petani padi sawah, terutama di tempat-tempat yang langka air, lebih-lebih lagi pada musim kemarau, misalnya pada kasus subak di Bali. Konflik antar petani dalam pemanfaatan air irigasi, biasanya terjadi antara kelompok petani hulu dan kelompok petani hilir. Pada tahun 1996, terjadi kasus di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yaitu pengusiran petugas PDAM oleh 300 orang petani bersama penduduk di tiga kampung sekitar Daerah Irigasi Ciherang. Petani-petani marah karena petugas PDAM menggali pipa air di Daerah Irigasi Ciherang untuk menyadap air di bagian hulu Sungai Cisangkuy yang juga merupakan sumber air bagi petani Ciherang (Kurnia, G. dkk., 1996). Masih banyak konflik pemanfaatan air yang juga terjadi di daerah-daerah lain yang kerap diberitakan oleh berbagai media masa.

C. Pemberdayaan Perempuan dalam Pemanfaatan SDA

Dalam prinsip pembangunan berkelanjutan telah dikemukakan bahwa perempuan mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan. Berkenaan dengan peranan perempuan dalam pembangunan lingkungan, perempuan juga dapat mengambil peran dalam pemanfaatan sumberdaya air. Peran perempuan dalam melestarikan sumber daya air dapat dikatakan memiliki peran yang sama dengan peran laki-laki. Pada dasarnya prinsip persamaan telah menjadi bagian dari sistem hukum kita, sebagaimana tercermin secara umum dalam Pasal 27 UUD 1945. Oleh karena itu, diharapkan adanya komitmen bersama terhadap upaya pelestarian sumber daya air.

Pemberdayaan perempuan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan perempuan dalam mengelola lingkungan, khususnya sumber daya air, sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat dicapai. Dalam pemanfaatan sumber daya air diperlukan pendidikan pada kaum perempuan agar berpartisipasi aktif dalam pembangunan berkelanjutan, kemudian menerapkan bersama kelompoknya untuk turut melestarikan sumber daya air, dengan kapasitas yang dimilikinya. Antara lingkungan dan perempuan memiliki keterkaitan yang erat, sehingga aktivitas perempuan terhadap lingkungannya akan berdampak pada kehidupan baik secara langsung atau pun tidak langsung.. by. Rahma Widhiasari
 

[1] Disampaikan oleh Tim Fasilitator Kelompok Model Pemanfaatan Sumber Daya Air, dalam Workshop “Pendidikan Perempuan untuk Pembangunan Berkelanjutan” . Bogor, 21-23 Agustus 2010.

Selasa, 03 Agustus 2010

Sekali Lagi Tentang Freeport

        Aktivitas pertambangan PT Freeport di Papua sejak 1967 telah berlangsung selama 42 tahun. Aktivitas yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini kemudian menimbulkan masalah bagi lingkungan di sekitar wilayah perambangan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Pun mengubah bentang alam seluas 166km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa.
       Limbah tailing PT Freeport juga telah mencemari perairan di muara sungai Ajkwa dan mengontaminasi sejumlah besar jenis mahluk hidup serta mengancam perairan dengan air asam tambang berjumlah besar. Di sisi lain, dari tahun ke tahun PT Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia.
       Para petinggi PT Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1,5 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan PT Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua.
       Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan Nomor 11/1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.
        Pada Maret 1973, PT Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan ini selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada tahun 1988, PT Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg. Dari eksplorasi ini, sekitar 7,3 ton tembaga dan 724, 7 ton emas telah mereka keruk.
       Pada Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m.[1] Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga penutupan tambang pada 2041.
PT Freeport mengelola tambang terbesar di dunia, yang didalamnya mengandung 50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Tetapi kehadiran PT Freeport sekaligus menunjukan bahwa usaha pertambangan yang dilakukannya hanya mensejahterakan segelintir orang, merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.
Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran PT Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi PT Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah PT Freeport.
Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS berad di Papua. Keberadaan PT Freeport juga menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia di masa lalu dan kini.
Ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini,  tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah bahkan terkesan diabaikan....
by. Rahma Widhiasari
[untuk lebih lengkapnya, dapat membaca tulisan Rahma Widhiasari, di buku Mengguga Pengelolaan SDA]


[1] Meumunah, S. 2006. Freeport.: Bagaimana Pertambangan Emas dan Tembaga Raksasa Menjajah Indonesia. Walhi dan Jatam. Jakarta

Menguji Keberpihakan UU Pertambangan Minerba Terhadap BUMN


Pemanfaatan potensi tambang di Indonesia selama 41 tahun diatur dalam Undang-undang (UU) No.11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan. Sering pula disebut sebagai UU Pokok Pertambangan. UU ini kemudian tak lagi berlaku dengan disahkannya UU tentang Pertambangan dan Mineral Batubara atau UU Pertambangan Minerba pada 16 Desember 2008.

Pada intinya, UU baru yang terdiri dari  26 bab dan 175 pasal itu mengatur pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan pertambangan nasional, menetapkan standar, petunjuk, dan kriteria nasional serta sistem perizinan pertambangan. 

Pemberlakuan UU Pertambangan dan Minerba ini, diharapkan dapat mengakhiri rezim kontrak pertambangan yang selama ini berlangsung menjadi rezim perizinan. Namun nampaknya, tujuan tersebut sulit dicapai. Sebab pada kenyataannya, sejumlah pasal yang terdapat dalam UU Pertambangan Minerba justru bias, kontradiktif, dan berpotensi mengikis kekayaan negara.

UU Pertambangan Minerba Bias
Ketika UU Minerba disahkan, terdapat tiga fraksi yang melakukan walkout yakni PAN, PKB dan PKS. Salah satu hal yang menjadi permasalahan dalam UU Minerba, adalah isi pasal 169 (a) yang menyebutkan:

 Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian”. 
Poin ini dinilai tidak adil dan diskriminatif terhadap perusahaan tambang baru, karena perusahaan tambang baru dibebani dengan sejumlah kewajiban. Sedangkan perusahaan tambang lama yang telah memiliki kontrak karya atau perjanjian karya dimanjakan dengan pasal ini. Mereka tidak perlu khawatir terhadap kontrak karya.
Kemudian terdapat makna yang bias jika membandingkan Pasal 169 (a) dengan Pasal 169 (b), yang menyebutkan:
“Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara”. 
Jika dicermati, isi ayat ini memiliki kontradiksi dengan ayat sebelumnya. Di satu sisi, UU Pertambangan Minerba membolehkan KK dan PKP2B yang sudah ada tetap berlaku hingga masa kontrak atau perjanjian selesai.
Namun di sisi lain, pasal 169 (b) menyatakan meskipun KK dan PK2B tetap berlaku tetapi ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalamnya harus disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU Pertambangan Minerba diberlakukan. Tapi tidak semua ketentuan yang disesuaikan. Ketentuan yang terkait penerimaan negara tetap dipertahankan dan tidak perlu diubah. 

Adanya kontradiksi ini akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika perusahaan tambang yang mengantongi kontrak dan perjanjian karya tidak bersedia mengubah kontrak atau pun perjanjiannya? Maka ini akan menimbulkan peluang terjadinya sengketa antara pemerintah dan perusahaan tambang , karena posisi pemerintah adalah sama, sehingga penyelesaian melalui jalur arbitase akan terbuka.

Dalam pasal 169(c) terdapat pula kejanggalan perihal pengecualian terhadap penerimaan negara yang tidak dapat disesuaikan, hal ini didukung oleh ayat yang berbunyi:
 “Pengecualian terhadap penerimaan negara, adalah upaya peningkatan penerimaan negara”.  
Padahal adanya perbaikan dalam peningkatan penerimaan negara merupakan hal  paling banyak dituntut berbagai kalangan. Terutama mengenai ketidakadilan yang telah terjadi selama ini dalam KK dan PKP2B. UU Pertambangan Minerba sendiri tak mengatur besarnya persentase  untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO), terutama DMO pada kontrak PKP2B.

Dengan kenyataan seperi ini, akan muncul peluang terjadinya kelangkaan batubara untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Misalnya pemenuhan kebutuhan batubara untuk PLN. Beberapa waktu belakangan ini, PLN telah merasakan hal tersebut. Selain itu, program pengamanan kebutuhan energi nasional termasuk proyek 10 ribu Mega Watt (MW) juga bisa terganggu.

Beberapa pihak menilai UU Minerba belum berpihak pada BUMN, karena izin yang telah dimiliki oleh BUMN dalam bentuk kuasa pertambangan (KP) menjadi tidak pasti. Tak heran jika kemudian timbul pertanyaan: apakah kuasa pertambangan harus menyesuaikan dengan UU Minerba atau dihormati sampai habis masa berlakunya? Ketidakjelasan itu berdampak terhadap bisnis BUMN pertambangan yang mempunyai izin KP.

Bentuk Pengusahaan
Dalam pasal 33 UU Pertambangan dan Minerba, pengusahaan pertambangan yang sebelumnya rezim kontrak dan perjanjian, selanjutnya dilakukan melalui tiga bentuk perizinan yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP).
Jika menggunakan bentuk kontrak dan perjanjian, pemerintah dan perusahaan tambang merupakan dua pihak yang setara. Sehingga jika terjadi dispute atau sengketa maka perusahaan tambang bisa menyeret pemerintah Indonesia ke pengadilan arbitrase. Hal ini terjadi dalam kasus disinvestasi Newmont.

Sementara dalam bentuk izin, posisi pemerintah bisa dikatakan lebih tinggi atau lebih berkuasa. Karena pemerintah berlaku sebagai pihak pemberi izin kepada pengusahaan tambang untuk melakukan aktivitas tambang. Pemerintah juga memiliki kuasa untuk mencabut izin jika dirasa perlu melalui prosedur yang ada. 

Pemberian izin pun dibagi tiga. Untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin diberikan kepada perusahaan tambang yang bisa melakukan pertambangan skala besar. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan untuk komunitas atau koperasi yang melakukan aktivitas pertambangan skala kecil.
Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP) dilakukan perusahaaan tambang dengan badan pelaksana yang dibentuk pemerintah. Dalam sektor migas, badan itu  bersifat seperti BP Migas. Dalam konteks ini,  PUP dinilai lebih memberikan kepastian hukum daripada IUP. Sehingga jika hanya IUP yang tersedia untuk berusaha dan tidak memberikan alternatif bentuk PUP untuk investasi besar, dikhawatirkan investor-investor besar di sektor pertambangan tidak tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.

Kewajiban Pembangunan Pengolahan
UU Pertambangan Minerba juga mengatur kewajiban pembangunan pengolahan (smelter) di dalam negeri. Ini bertujuan meningkatkan nilai tambah produk-produk tambang dalam negeri. Selama ini Indonesia dinilai tak diuntungkan  karena banyak produk tambang diekspor sebagai produk mentah, harganya murah.

Banyak produk tambang mentah itu yang setelah diekspor kemudian diolah di luar negeri. Mereka mengolahnya menjadi produk setengah jadi maupun produk jadi yang kemudian banyak pula yang diimpor ke Indonesia. Ini berarti bahwa nilai tambah produk-produk tambang justru dinikmati negara-negara lain.

Kewajiban bagi pemegang IUP Operasi Produksi dan PUP dalam melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri tercantum pada UU Minerba pasal 110. Dalam pasal 171 disebutkan pelaksanaan ketentuan tentang pemurnian terhadap pemegang Kontrak Karya yang telah berproduksi dilaksanakan selambat-lambatnya 5 tahun sejak Undang-undang Minerba disahkan.
Kelayakan suatu tambang juga harus menjadi pertimbangan dalam menentukan sejauh mana tingkat downstream industri yang wajib dilakukan oleh perusahaan.

Namun, belum ada penjelasan rinci tentang penetapan batasan minimum suatu tambang telah menjalankan kewajiban pengolahan dan pemurnian dalam rangka peningkatan nilai tambah. Sebab jika tidak dibatasi tingkat minimum downstream industri yang harus dijalankan dapat saja perusahaan tambang kembali menjual bahan mentah  dalam bentuk bulk yang tidak dapat dikategorikan sebagai komoditi.

Selain itu jangka waktu 5 tahun untuk memenuhi kewajiban melakukan pengolahan di dalam negeri dinilai tidak efektif, mengingat pendirian pabrik harus mempertimbangkan berbagai hal, diantaranya kapasitas minimum, batasan teknologi, infrastruktur, energi, lokasi, biaya, sumberdaya manusia, dan sebagainya.


by Rahma Widhiasari
[masa-masa mengerjakan tugas hukum lingkungan]

Mencermati Penanganan Pencemaran Laut Timor dan Lapindo

Pada tanggal 21 Agustus 2009 kilang minyak Montara meledak, dan mengakibatkan pencemaran minyak di Laut Timor serta menurunkan tangkapan nelayan. Hampir setahun setelah peristiwa tumpahan minyak terjadi, pemerintah baru mengumumkan akan mengajukan klaim ganti rugi tumpahan minyak pada PT TEP, perusahaan penyebab pencemaran. Pada tanggal 27 Juli 2010, dalam rapat dengar pendapat di hadapan Komisi VII, Menteri Perhubungan, Freddy Numberi memaparkan akan meminta uang muka (down payment) pembayaran ganti rugi tumpahan minyak mentah di Laut Timor kepada PT TEP Australasia senilai US$ 5 juta. 

Berdasarkan perhitungan sementara oleh tim pemerintah, menyebutkan kerugian langsung dari tumpahan minyak tersebut mencapai Rp 289 miliar, dimana Rp 42 miliar diantaranya merupakan kerugian langsung kepada masyarakat. Angka ini lebih rendah dari perhitungan oleh LSM daerah setempat yang memperkirakan kerugian dari tumpahan minyak tersebut sekitar Rp 806,168 miliar. Kerugian itu memperhitungkan ekosistem terdampak dan upaya pemulihannya. Meski pemrintah terkesan terlambat merespon, namun rakyat tetap berharap pemerintah benar-benar menindaklanjuti klaim ganti rugi pada PT TEP Australasia.

Kemudian jika membandingkan dengan kasus Lapindo, banyak pihak menilai pemerintah telah gagal menangani kasus Lapindo. Hingga saat ini, aktivitas ekonomi Sidoharjo belum dapat dipulihkan, terdapat lebih dari 15 pabrik tergenang dan menghentikan aktivitas produksi. Angka pengangguran meningkat, lebih dari 1.873 orang kehilangan pekerjaan. Penanganan kasus Lapindo pun tidak mampu menyeret perusahaan yang mangakibatkan semburan lumpur, seluruh biaya penanganan kasus Lapindo menjadi tanggungan pemerintah. Akibatnya, uang rakyat dari APBN telah tersedot sebesar Rp4 triliun, yakni Rp450 miliar pada 2007, Rp1,57 triliun (2008), Rp1,15 triliun (2009), dan Rp1,2 triliun pada 2010. Penanganan Lapindo kembali akan menggunakan dana APBN, yakni pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, biaya untuk penangangan lumpur Lapindo (bukan penghentian semburan) dialokasikan sebesar Rp 7,2 trilyun. 

Pada Juni 2010, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo mengajukan anggaran penanganan semburan lumpur sepanjang 2011 sebesar Rp1,286 triliun. Hal ini cukup kotrovesial, karena lagi-lagi dana APBN yang akan digunakan untuk menanggulangi luapan lumpur Lapindo. Kemudian, sebagian ahli berpendapat semburan lumpur bisa ditutup, namun sebagian ahli lainnya menyatakan semburan itu tidak bisa ditutup. Tulisan ini akan membahas dan mengkritisi langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk menangani kasus Laut Timor dan kasus Lapindo.


Penanganan Laut Timor 

Sekitar 3000 barel/hari semburan minyak Montara di Laut Timor (WWF, 2009), terjadi akibat ledakan pada rig West Atlas, platform sumur minyak Montara di Laut Timor yang terletak sekitar 690 km arah barat Darwin. Ini telah mengakibatkan pencemaran laut di perairan Australia Barat, Timor Leste dan Indonesia. Tumpahan minyak berlangsung selama 74 hari, hingga 3 Nopember 2009. Operasi penyelamatan berlangsung setelah 5 kali percobaan, dan kebocoran berhasil ditutup menggunakan lumpur sebanyak 3400 barel yang dipompakan ke sumur minyak. West Atlas dimiliki oleh Seadrill dari Norwegia yang menyewakan rig tersebut kepada PTT Exploration and Production (PTTEP) Australasia, yang 100% sahamnya dimiliki oleh pemerintah Thailand. 

Kebocoran minyak diperkirakan sekitar 2000 barel per hari. Pada bulan Oktober 2009, seperti dikonfirmasi PT TEP, penyebaran minyak telah mencapai area seluas 6000 km2, mengalir sepanjang 120 km, hingga perairan Indonesia. Tumpahan minyak blok Montara telah mengakibatkan kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan yang berdampak turunan. Bencana ini merugikan ribuan nelayan dan pembudidaya rumput laut NTT, menurunkan fungsi kelautan, mematikan biota laut dan menurunkan keanekaragaman hayati, serta berpotensi menimbulkan dampak turunan berupa pengangguran dan menambah angka kemiskinan. Namun sangat disayangkan, meskipun telah berlangsung berbulan-bulan pemerintahan SBY bergeming. 

Setelah makin maraknya protes masyarakat, LSM dan media-lah akhirnya pada tanggal 22 Juli 2010 lalu, Presiden SBY menyatakan akan mengajukan klaim ganti rugi kepada PTTEP. Sikap Presiden SBY ini sangat jauh berbeda dengan sikap Obama yang dalam waktu kurang dari 2 bulan berhasil memperoleh komitmen BP untuk membayar kerugian minimal US$ 20 miliar. Obama juga berhasil memenuhi tuntutan rakyatnya yang akan menerima ganti rugi dan bantuan dana akibat pencemaran. Ini memang tidak sebanding dengan sikap Presiden SBY, yang terkesan lambat menyikapi kasus Laut Timor. Pada 27 Juli, dihadapan Komisi VII DPR, Menteri Perhubungan, Fredi Numberi menyatakan akan meminta DP dahulu, sebesar US$ 5 juta. Fredi mengungkapkan mudah-mudahan PT TEP menyetujui dan dana tersebut bisa dipakai untuk recovery awal yang langsung kepada masyarakat. Berdasarkan pernyataan ini saja kita dapat melihat sedemikian tidak percaya dirinya pemerintahan kita, yang akan mengajukan DP pada PT TEP, padahal telah diketahui bahwa PT TEP yang menyebabkan kecelakaan dan pemerintahan kita memiliki hak untuk menuntut ganti rugi. Kabarnya, PT TEP pun telah berkomitmen untuk mengganti rugi biaya kerusakan lingkungan pada Pemerintah Australia.

Langkah meminta DP terlebih dahulu pun dinilai tidak efesien, seharusnya pemerintah lebih dulu menghitung total biaya lingkungan, sosial dan pemulihan, baru mengajukan klaim ganti rugi. Kemudian, harus didiskusikan kembali langkah pembayaran uang ganti rugi tersebut. Sehingga pemerintah memiliki jaminan hukum jika kesepakatan pemerintah dan PT TEP dicapai. Masyarakat pesisir pun mendapat kepastian berkenaan ganti rugi mereka.

Kasus Lapindo 

Bencana semburan lumpur panas Lapindo telah 4 tahun berlalu, namun hingga kini Kabupaten Sidoarjo belum dapat pulih. Bahkan, sekitar 50 ribu keluarga atau 40 persen warga korban lumpur Lapindo yang masuk dalam peta terdampak, hingga kini belum mendapat ganti rugi. Angka itu masih lebih sedikit ketimbang jumlah korban yang tidak tercatat.

Kemudian, yang perlu dikritisi adalah langkah Badan Pengendalian Lumpur Sidoharjo (BPLS), yang bulan Juli lalu kemabali mengajukan anggaran. Pada rapat penyusunan APBN 2011, di hadapan Komisi V DPR, BPLS mengajukan anggaran penanganan semburan sebesar Rp 1,286 triliun. Terdapat dua hal yang perlu dikritisi dalam pengajuan anggaran ini. Pertama, BPLS justru tidak mengusulkan anggaran penghentian lumpur dari areal konsensi PT Lapindo Brantas. Biaya tersebut akan digunakan sebagai biaya pengalihan 32 juta meter kubik lumpur ke Sungai Porong, bantuan untuk warga dan pengehentian infrastruktur. BPLS menyatakan bahwa semburan tidak dapat dihentikan, dan semburan tidak dapat ditutup. Jika pernyataan BPLS ini benar, maka diperlukan penelitian lebih mendalam berkenaan dengan langkah teknis yang tepat agar semburan lumpur ini dapat dikendalikan. Kedua, berkenaan dengan data yang direlease BPLS bahwa semburan lumpur Sidoarjo mencapai 1 juta barrel per hari. Ini adalah angka semburan yang sangat besar, dan data ini jauh berbeda dengan data yang dikeluarkan lembaga pemerintah lainnya. Berdasarkan data KLH, semburan lumpur Lapindo sekitar 150.000-200.000 barel per hari.

Hal lain yang perlu dikritisi adalah, perusahaan yang menyebabkan semburan lumpur panas Lapindo tidak dituntut ganti rugi, sebagian besar biaya penanganan Lapindo ditanggung pemerintah. Sekitar Rp 8, 37 triliun dana pemerintah telah digunakan untuk menangani Lapindo. Kemudian dalam RPJM 2010-2014, biaya untuk penangangan lumpur Lapindo (bukan penghentian semburan) dialokasikan sebesar Rp 7,2 trilyun. Perpres 14 Tahun 2007 yang ditandatangani presiden memutuskan bahwa biasa masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak dibebankan pada APBN. Peepres juga mengatur bahwa biaya upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur dibebankan pada APBN dan sumbangan lain. 

Penanganan masalah Lapindo saat ini dianggap masih belum serius dan konkret. Semisal, penanganan masalah pendidikan, kesehatan, pengangguran, perekonomian dan infrastruktur akibat lumpur Lapindo masih belum teratasi. Relokasi infrastruktur hingga saat ini seperti jalan arteri Raya Porong dan tol Porong-Gempol pun belum terwujud. Sementara, sekitar 50 ribu keluarga atau 40 persen warga korban lumpur Lapindo yang masuk dalam peta terdampak, hingga kini belum mendapat ganti rugi. 

Mantan menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witular pada bulan Juni 2009 menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo bukan bencana alam. Sehingga, tidak seharusnya pemerintah mengambilalih tanggung jawab perusahaan yang menyebabkan bencana. Ini jauh berbeda dengan langkah Obama yang kemudian berhasil membuat BP membayar ganti rugi. Sementara, Lapindo justru menikmati hasil kompromi politik yang sangat menguntungkan, dan negara ikut menanggulangi luapan lumpur. 

Terakhir, kita harus belajar dari sikap bertanggungjawab BP yang telah berupaya maksimal dan berhasil memberhentikan bocoran minyak pada medan yang sulit di laut dalam Teluk Meksiko dalam waktu yang relatif singkat (sekitar 86 hari). Sedangkan Lapindo, meskipun telah 4 tahun berlalu, lumpur panas masih terus menyembur, dan dengan alasan debit bocoran lumpur yang lebih besar dibanding bcoran minyak Teluk Meksiko, BPLS menganggap upaya penghentian semburan tidak perlu dilanjutkan. Kami memperkirakan, karena wilayah Lapindo di darat, operasi penghentian semburan akan lebih mudah (dibanding laut dalam), sehingga prospektif untuk berhasil. Oleh sebab itu, kita layak menuntut agar penghentian semburan lumpur Lapindo tetap dilanjutkan dan hal ini perlu persiapan penanganan yang lebih komprehesif, melibatkan pihak-pihak yang lebih luas dan dukungan dana yang besar.

Simpulan

Penyelesaian kasus Lapindo masih sangat jauh dari rasa keadilan: jangankan meminta perusahaan menanggung biaya penanggulangan dan biaya memberhentikan semburan sekaligus seperti dialami BP, untuk penanggulangan akibat semburan saja negara harus ikut menanggung beban. Hal yang sama terjadi pada kasus Montara dimana pemerintah bertindak sangat lamban dan abai melindungi kehidupan ekonomi rakyat dan menjaga martabat dan harga diri bangsa. Pemerintah tidak mampu menjalankan perannya sebagai wakil negara dan rakyat sehingga rakyat dan bangsa Indonesia sangat dirugikan. Pemerintah perlu meminta agar perusahaan, baik Lapindo maupun PTTEP menjunjung tinggi nilai etika/moral, menerapkan prinsip-prinsip GCG dan menunjukkan peran dan tanggungjawab kemanusiaan yang nyata dalam tatanan bisnis global agar kedua kasus pencemaran dapat diselesaikan secara adil dan bermoral. 


by. Rahma Widhiasari






Lonceng Kehancuran Pertambangan Timah Bangka Belitung


Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah cadangan yang berlimpah. Cadangan timah ini, merupakan bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia.
Di Indonesia sendiri,  wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada 1711, di Singkep pada 1812, dan di Belitung sejak 1852.

Namun, aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT Timah Tbk., 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah pulau penghasil timah itu,  Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Pulau Bangka yang luasnya mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya  merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di pulau ini dikuasai oleh PT Tambang Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah Tbk. Mereka menguasai arae KP seluas 321.577 ha.

Sedangkan PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25 persen sahamnya dikuasai PT Timah Tbk dan 75 persen lainnya milik Malaysia Smelting Corporation, menguasai area KP seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain itu terdapat sejumlah smelter swasta lain dan para penambang tradisional yang sering disebut tambang inkonvensional ( TI ).

Pemberian izin TI di Bangka Belitung, sebenarnya mendukung usaha pertambangan PT Timah Tbk sebagai BUMN dan PT Kobatin. Sebab, kedua perusahaan tersebut  tidak perlu membuka area penambangan baru. Namun, keberadaan TI ini pada akhirnya justru memperburuk ketersediaan logam timah di Bangka Belitung dan membuat rusak lingkungan wilayah Bangka Belitung karena penambangan dilakukan di semua tempat.

Di sisi lain, penambangan timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal, cadangan timah yang ada kian menepis pula. Tak heran jika kemudian pertambangan timah di Bangka Belitung membawa dampak sosial berupa masalah kemiskinan dan kecemburuan sosial di sekitar wilayah pertambangan.

Hal krusial yang memantik masalah itu muncul karena potensi timah yang berlimpah itu belum diatur secara optimal. Sehingga pendapatan berlimpah dari aktivitas penambangan pada akhirnya belum mampu mendukung bagi terwujudnya kemakmuran rakyatnya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya  penyelundupan timah yang dilakukan melalui aktivitas  penambangan illegal. 

Mestinya,  BUMN di bidang pertambangan timah berperan lebih besar agar hasil penambangan seluruhnya masuk ke kas negara.

Bila kondisi seperti itu terwujud, jumlah produksi timah Indonesia bisa menyamai bahkan melampaui Cina yang mencapai 130 ribu ton per tahun. Melalui penambangan legal, Indonesia menghasilkan timah sebesar 71.610 ton per tahun. Dari penambangan ilegal, sebanyak 60 ribu ton per tahun. Mekanisme pertambangan timah di Indonesia bisa dikatakan masih jauh dari prinsip demokrasi ekonomi. Sebab, endapan timah yang merupakan kekayaan nasional bangsa Indonesia belum sepenuhnya dimanfaatkan sesuai amanat UUD 1945 pasal 33. Kekayaan itu harus digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi, negara harus mampu menguasai secara efektif dan memanfaatkan sumber daya itu demi kemakmuran rakyatnya.

Sudah menjadi kewajiban semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat memanfaatkan potensi tambang bagi kemakmuran rakyat. Namun itu belum mewujud dalam pengelolaan pertambangan timah yang ada di sepanjang Pulau Bangka, Belitung, Singkep, dan Karimun-Kundur. Padahal, Indonesia diakui sebagai penghasil timah terbesar kedua di dunia setelah Cina. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bisa disebuat sebagai negara yang masih memiliki kandungan timah berlimpah.

Sayang, potensi timah yang bisa membawa Indonesia menuai pendapatan berlimpah untuk kemakmuran rakyatnya belum diatur secara optimal. Masih sering terjadi penyelundupan timah melalui penambangan ilegal. Bayangkan saja, penambangan ilegal mampu menghasilkan 60 ribu ton per tahun, tak begitu beda jauh dengan jumlah produksi penambangan legal sebesar 71.610 per tahun. Hasil penambangan ilegal tentu tak masuk ke dalam kas negara.

Biasanya, timah dari aktivitas penambangan ilegal itu dipasarkan ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Cina. Menurut Batubara (2008), ada sejumlah masalah yang mestinya segara mendapatkan solusi. Di antaranya, belum optimalnya kebijakan nasional, peraturan yang bermasalah, penegakan hukum yang tidak konsisten, KKN berbagai oknum, pencurian, penyeludupan, perusakan lingkungan, dominasi asing dan pemilik modal, serta kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat.

Seluruh masalah ini saling terkait dan telah berkontribusi terhadap tidak optimalnya hasil tambang timah bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah belum dapat menyeimbangkan aspek-aspek pendapatan negara, reservasi atau pengamanan cadangan timah, dan pemberdayaan ekonomi atau kehidupan rakyat. Penambangan dilakukan hanya berdasarkan upaya untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan.

Dengan total cadangan yang terbatas sekitar 1 juta ton, timah Indonesia diperkirakan hanya akan bertahan 12 tahun kedepan atau paling lama 15 tahun jika cadangan baru ditemukan. Undang-undang dan peraturan seputar tambang timah sebagian tidak relevan dan tidak sejalan dengan kepentingan nasional. Demikan pula dengan penegakan hukum di lapangan, yang sering tidak konsisten dan bermasalah. Pemerintah, belum optimal mengatur mekanisme penambangan timah.

Hingga  2009,  penyelundupan timah masih marak terjadi. Pemerintah tidak tegas memberikan sanksi terhadap para pelaku penyelundupan timah. Sejauh ini, pertambangan dilakukan untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan tanpa penghematan. Hal ini kemudian memberikan peluang bisnis terhadap para investor asing dan domestik.  Bahkan, tercatat sejumlah cukong dari Jakarta menguasai tambang timah ilegal melalui konsorsium yang beranggotakan banyak perusahaan.

Diizinkannya tambang inkonvensional (TI), sebenarnya mendukung produksi  PT Timah Tbk sebagai BUMN dan PT Kobatin. Kedua perusahaan bahkan tidak perlu membuka area penambangan, karena penambang inkonvensional yang membuka lahan pertambangan dan mengeksploitasi timah. Namun, hal itu justru memperparah ketersediaan cadangan logam timah di Bangka Belitung. Penambang inkonvensional terus menambang bahkan hutan lindung pun menjadi sasaran mereka.

Penambang inkonvensional tidak memperhitungkan cadangan sumberdaya timah yang ada. Mereka secara terus-menerus mengeksploitasi wilayah pertambangan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. US Geological Survey 2006 menyatakan, cadangan terukur timah di Indonesia hanya 800 ribu sampai 900 ribu ton. Ekspor setahun rata-rata 60 ribu ton setara dengan 90 ribu ton pasir. Berarti cadangan tinggal 10 tahun lagi, atau sekitar tahun 2015, pertambangan timah hanya akan meninggalkan tanah dan buruh tambang di Bangka Belitung.

Ketersediaan timah yang semakin menipis ini seharusnya diperhitungkan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), serta pemerintah daerah setempat. Sebab, produksi timah cukup berkontribusi bagi pembangunan ekonomi. Pemerintah juga harus memperhitungkan keberlanjutan ekonomi masyarakat Bangka Belitung jika cadangan timah habis, karena bisa menurunkan kesejahteraan masyarakat atau bahkan menambah angka kemiskinan di negara ini.

by. Rahma Widhiasari