Selasa, 03 Agustus 2010

Menguji Keberpihakan UU Pertambangan Minerba Terhadap BUMN


Pemanfaatan potensi tambang di Indonesia selama 41 tahun diatur dalam Undang-undang (UU) No.11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan. Sering pula disebut sebagai UU Pokok Pertambangan. UU ini kemudian tak lagi berlaku dengan disahkannya UU tentang Pertambangan dan Mineral Batubara atau UU Pertambangan Minerba pada 16 Desember 2008.

Pada intinya, UU baru yang terdiri dari  26 bab dan 175 pasal itu mengatur pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilakukan pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan pertambangan nasional, menetapkan standar, petunjuk, dan kriteria nasional serta sistem perizinan pertambangan. 

Pemberlakuan UU Pertambangan dan Minerba ini, diharapkan dapat mengakhiri rezim kontrak pertambangan yang selama ini berlangsung menjadi rezim perizinan. Namun nampaknya, tujuan tersebut sulit dicapai. Sebab pada kenyataannya, sejumlah pasal yang terdapat dalam UU Pertambangan Minerba justru bias, kontradiktif, dan berpotensi mengikis kekayaan negara.

UU Pertambangan Minerba Bias
Ketika UU Minerba disahkan, terdapat tiga fraksi yang melakukan walkout yakni PAN, PKB dan PKS. Salah satu hal yang menjadi permasalahan dalam UU Minerba, adalah isi pasal 169 (a) yang menyebutkan:

 Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian”. 
Poin ini dinilai tidak adil dan diskriminatif terhadap perusahaan tambang baru, karena perusahaan tambang baru dibebani dengan sejumlah kewajiban. Sedangkan perusahaan tambang lama yang telah memiliki kontrak karya atau perjanjian karya dimanjakan dengan pasal ini. Mereka tidak perlu khawatir terhadap kontrak karya.
Kemudian terdapat makna yang bias jika membandingkan Pasal 169 (a) dengan Pasal 169 (b), yang menyebutkan:
“Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara”. 
Jika dicermati, isi ayat ini memiliki kontradiksi dengan ayat sebelumnya. Di satu sisi, UU Pertambangan Minerba membolehkan KK dan PKP2B yang sudah ada tetap berlaku hingga masa kontrak atau perjanjian selesai.
Namun di sisi lain, pasal 169 (b) menyatakan meskipun KK dan PK2B tetap berlaku tetapi ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalamnya harus disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU Pertambangan Minerba diberlakukan. Tapi tidak semua ketentuan yang disesuaikan. Ketentuan yang terkait penerimaan negara tetap dipertahankan dan tidak perlu diubah. 

Adanya kontradiksi ini akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika perusahaan tambang yang mengantongi kontrak dan perjanjian karya tidak bersedia mengubah kontrak atau pun perjanjiannya? Maka ini akan menimbulkan peluang terjadinya sengketa antara pemerintah dan perusahaan tambang , karena posisi pemerintah adalah sama, sehingga penyelesaian melalui jalur arbitase akan terbuka.

Dalam pasal 169(c) terdapat pula kejanggalan perihal pengecualian terhadap penerimaan negara yang tidak dapat disesuaikan, hal ini didukung oleh ayat yang berbunyi:
 “Pengecualian terhadap penerimaan negara, adalah upaya peningkatan penerimaan negara”.  
Padahal adanya perbaikan dalam peningkatan penerimaan negara merupakan hal  paling banyak dituntut berbagai kalangan. Terutama mengenai ketidakadilan yang telah terjadi selama ini dalam KK dan PKP2B. UU Pertambangan Minerba sendiri tak mengatur besarnya persentase  untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO), terutama DMO pada kontrak PKP2B.

Dengan kenyataan seperi ini, akan muncul peluang terjadinya kelangkaan batubara untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Misalnya pemenuhan kebutuhan batubara untuk PLN. Beberapa waktu belakangan ini, PLN telah merasakan hal tersebut. Selain itu, program pengamanan kebutuhan energi nasional termasuk proyek 10 ribu Mega Watt (MW) juga bisa terganggu.

Beberapa pihak menilai UU Minerba belum berpihak pada BUMN, karena izin yang telah dimiliki oleh BUMN dalam bentuk kuasa pertambangan (KP) menjadi tidak pasti. Tak heran jika kemudian timbul pertanyaan: apakah kuasa pertambangan harus menyesuaikan dengan UU Minerba atau dihormati sampai habis masa berlakunya? Ketidakjelasan itu berdampak terhadap bisnis BUMN pertambangan yang mempunyai izin KP.

Bentuk Pengusahaan
Dalam pasal 33 UU Pertambangan dan Minerba, pengusahaan pertambangan yang sebelumnya rezim kontrak dan perjanjian, selanjutnya dilakukan melalui tiga bentuk perizinan yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP).
Jika menggunakan bentuk kontrak dan perjanjian, pemerintah dan perusahaan tambang merupakan dua pihak yang setara. Sehingga jika terjadi dispute atau sengketa maka perusahaan tambang bisa menyeret pemerintah Indonesia ke pengadilan arbitrase. Hal ini terjadi dalam kasus disinvestasi Newmont.

Sementara dalam bentuk izin, posisi pemerintah bisa dikatakan lebih tinggi atau lebih berkuasa. Karena pemerintah berlaku sebagai pihak pemberi izin kepada pengusahaan tambang untuk melakukan aktivitas tambang. Pemerintah juga memiliki kuasa untuk mencabut izin jika dirasa perlu melalui prosedur yang ada. 

Pemberian izin pun dibagi tiga. Untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), izin diberikan kepada perusahaan tambang yang bisa melakukan pertambangan skala besar. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan untuk komunitas atau koperasi yang melakukan aktivitas pertambangan skala kecil.
Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP) dilakukan perusahaaan tambang dengan badan pelaksana yang dibentuk pemerintah. Dalam sektor migas, badan itu  bersifat seperti BP Migas. Dalam konteks ini,  PUP dinilai lebih memberikan kepastian hukum daripada IUP. Sehingga jika hanya IUP yang tersedia untuk berusaha dan tidak memberikan alternatif bentuk PUP untuk investasi besar, dikhawatirkan investor-investor besar di sektor pertambangan tidak tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.

Kewajiban Pembangunan Pengolahan
UU Pertambangan Minerba juga mengatur kewajiban pembangunan pengolahan (smelter) di dalam negeri. Ini bertujuan meningkatkan nilai tambah produk-produk tambang dalam negeri. Selama ini Indonesia dinilai tak diuntungkan  karena banyak produk tambang diekspor sebagai produk mentah, harganya murah.

Banyak produk tambang mentah itu yang setelah diekspor kemudian diolah di luar negeri. Mereka mengolahnya menjadi produk setengah jadi maupun produk jadi yang kemudian banyak pula yang diimpor ke Indonesia. Ini berarti bahwa nilai tambah produk-produk tambang justru dinikmati negara-negara lain.

Kewajiban bagi pemegang IUP Operasi Produksi dan PUP dalam melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri tercantum pada UU Minerba pasal 110. Dalam pasal 171 disebutkan pelaksanaan ketentuan tentang pemurnian terhadap pemegang Kontrak Karya yang telah berproduksi dilaksanakan selambat-lambatnya 5 tahun sejak Undang-undang Minerba disahkan.
Kelayakan suatu tambang juga harus menjadi pertimbangan dalam menentukan sejauh mana tingkat downstream industri yang wajib dilakukan oleh perusahaan.

Namun, belum ada penjelasan rinci tentang penetapan batasan minimum suatu tambang telah menjalankan kewajiban pengolahan dan pemurnian dalam rangka peningkatan nilai tambah. Sebab jika tidak dibatasi tingkat minimum downstream industri yang harus dijalankan dapat saja perusahaan tambang kembali menjual bahan mentah  dalam bentuk bulk yang tidak dapat dikategorikan sebagai komoditi.

Selain itu jangka waktu 5 tahun untuk memenuhi kewajiban melakukan pengolahan di dalam negeri dinilai tidak efektif, mengingat pendirian pabrik harus mempertimbangkan berbagai hal, diantaranya kapasitas minimum, batasan teknologi, infrastruktur, energi, lokasi, biaya, sumberdaya manusia, dan sebagainya.


by Rahma Widhiasari
[masa-masa mengerjakan tugas hukum lingkungan]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar