Minggu, 11 November 2012

Keseriusan Jokowi dalam Pengelolaan Ciliwung


Gurbernur DKI yang baru, Jokowi kerap kali dielu-elukan banyak pihak. Jokowi yang terbukti berhasil memimpin Solo, dan terpilih menjadi walikota terbaik sedang membuktikan komitmennya untuk mengelola ibu kota dengan lebih baik. Diantara sekian banyak pekerjaan rumah Jokowi, Ciliwung adalah PR besar Gubernur DKI yang juga harus dikerjakan dengan serius. Pasalnya, sungai besar yang melintas di sepanjang ibu kota ini kerap kali menjadi penyebab terjadinya banjir. Ciliwung yang lekat dengan pencemaran perlu pengelolaan lebih serius.
Sungai sepanjang hampir 120 kilometer itu menjadi perhatian utama. Terutama karena merupakan ancaman banjir terbesar bagi Jakarta dibandingkan dengan 12 sungai lain yang masuk wilayah ibu kota.Di antara 13 sungai di Jakarta, Ciliwung satu-satunya yang melalui tengah kota, melewati perkampungan, perumahan padat, dan permukiman kumuh. Ada sekitar 3,5 juta jiwa yang tinggal di daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung seluas 387 kilometer persegi ini.
Ciliwung sungai yang nyaris ”mati” di hilirnya juga menyumbang pencemaran di Teluk Jakarta. Di hilir Ciliwung yang airnya telah menghitam, yakni di aliran Muara Angke hingga Ancol n yaris tak ada lagi ikan. Ciliwung bahkan dinyatakan beracun, karena  kadar oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO) yang rendah dan kadar biological oxygen demand (BOD) demikian tinggi, menjadikan organisme tak dapat bertahan hidup di sungai itu. Ciliwung telah telah menjadi tempat sampah raksasa. Beban yang harus ditanggung sungai utama di Jakarta ini kian berat karena penduduk dan industri di sekitarnya menjadikansungai itu ”tempat sampah raksasa” untuk membuang sampah organik ataupun anorganik.

Upaya Jokowi
Awal November lalu, Jokowi telah melakukan kunjungan dan meninjau Ciliwung dengan beberapa stafnya. Di beberapa media, Jokowi berkomentar akan melakukan normalisasi Kali Ciliwung yang saat ini mengalami penyempitan, Namun, sebenarnya yang diperlukan Ciliwung bukan hanya dinormalisasi, Ciliwung perlu “dihidupkan kembali”. Pencemaran Ciliwung perlu dientaskan agar organisme air dapat kembali mengfungsikan Ciliwung sebagai tempat hidupnya.
Kabarnya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pun akan ikut turun tangan mengentaskan pencemaran ciliwung, terdapat wacana akan memanfaatkan bakteri pelumat limbah untuk mengurangi beban pencemar Ciliwung. Sebenarnya, perbaikan kondisi Ciliwung telah dilakukan sejak tahun 1989 melalui Program Kali Bersih (Prokasih). Pada awal 1990-an ada hampir 120 industri yang berkomitmen menurunkan kandungan limbah yang dibuang ke tiga sungai, di antaranya Sungai Ciliwung. Namun, nyatanya kondisi sungai saat ini tak berubah, bahkan kian kotor dan hitam. Masalahnya adalah rendahnya kesadaran masyarakat dan industri untuk menjaga sumber daya air ini.
Meningkatnya beban pencemar dan, penurunan kualitas air Sungai Ciliwung terbesar (80 persen) diakibatkan limbah domestik. Sehingga,  upaya perbaikan kualitas air Ciliwung bukan hanya pemulihan air sungai. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengelola sungai lebih diperlukan. Jokowi, sebagai pemimpin ibu kota perlu melakukan restorasi Ciliwung sebagai tonggak untuk mendorong kepedulian masyarakat memperbaiki kualitas air sungai ini.
Jokowi seyogyanya berkoordinasi dengan KLH yang akan melakukan restorasi sungai. KLH menginformasikan, jangka waktu pelaksanaan pembangunan sungai 30 bulan, mulai 3 Desember 2012. Rencananya, proses pembangunannya akan ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia bersama Menteri Lingkungan Hidup Republik Korea. Proyek percontohan restorasi sungai ini, meliputi pembangunan fasilitas pengolahan limbah domestik dan pusat pendidikan. Pembangunannya akan melibatkan instansi terkait seperti Kementerian Pekerjaan Umum untuk pengelolaan sungai dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) domestik, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam kaitan pemilihan teknologi IPAL, dan badan lingkungan hidup daerah dalam penyediaan fasilitas pendukung. Pembangunan percontohan IPAL berkapasitas 500 meter kubik per hari ini akan didanai dengan anggaran KLH Indonesia sebesar Rp 10 miliar yang dibagi dalam dua tahun anggaran, yakni tahun 2013 dan 2014. Adapun KLH Korea akan memberi dana hibah 9 juta dollar AS untuk pengadaan IPAL. Pendanaannya gabungan dari Korea Environmental Industry and Technology Institute (KEITI) dan Korea International Cooperation Agency (Koica).
Instalasi pengelolaan limbah akan dipilih yang berteknologi tidak terlalu canggih dan mahal sehingga dapat dioperasikan oleh tenaga kerja Indonesia. Instalasi pengolah ini akan menggunakan bakteri dari alam Indonesia yang telah diisolasi dan dibiakkan. Ini karena, penggunaan bakteri dari Korea tidak cocok untuk Indonesia yang hanya memiliki dua musim. Pengolahan limbah di Ciliwung pun harus multikultur alias banyak bakteri (menggunakan konsorsium bakteri) baik yang mampu melumat limbah organik maupun anorganik. Limbah proses IPAL selanjutnya didaur ulang melalui proses desalinasi atau teknik penyaringan osmosis balik, hingga memungkinkan penggunaan ulang air hasil olahan ini untuk keperluan sanitasi.

Diperlukan Koordinasi
Jika Jokowi serius mengelola Ciliwung, maka diperlukan koordinasi dengan semua pihak. Koordinasi dengan lembaga-lembaga lain, seperti KLH dan BPPT serta berkoordinasi dengan Pemprov yang lain, yakni Pemprov Jabar, karena hulu Ciliwung terletak di Puncak. Pemerintah Daerah Jawa Barat dan DKI Jakarta perlu melakukan pembatasan limbah kegiatan instansional, agar kualitas air di sungai tidak melebihi baku mutu sesuai dengan peruntukannya. Pengelola DAS Ciliwung perlu pula melakukan pembatasan kuantitas dan kualitas domestik yang masuk ke sungai, di antaranya dengan pembuatan IPAL komunal. Kemudian, dalam penetapan program pengendalian beban pencemaran, masing-masing wilayah administrasi harus memiliki acuan nilai daya tampung sebagai nilai target dalam pengendalian beban pencemaran. Oleh karena itu, masing-masing pimpinan wilayah serta stake holder DAS Ciliwung bertanggung jawab merumuskan program pengendalian beban pencemaran. Perencanaan program pengendalian beban pencemaran dapat dimulai dengan mengidentifikasi sumber-sumber beban pencemaran. Pengawasan sumber beban pencemaran agar sesuai dengan baku mutu limbah cair perlu rutin dilakukan dengan implementasi penegakan hukum.

Pengelolaan DAS Ciliwung harus melibatkan seluruh stake holder, pemerintah dan masyarakat serta pelaksanaan program-program yang telah direncanakan haruslah berkesinambungan. Program pengendalian beban pencemaran tidaklah dilakukan hanya sesaat, namun harus berkelanjutan dan sinergis dengan program-program pengendalian beban pencemaran antar segmen. DAS merupakan kesatuan sumberdaya yang saling berinteraksi, interaksinya tidak dibatasi oleh batas administrasi pemerintahan. Oleh karena itu, rencana dan implementasi program pengelolaan DAS harus terpadu. Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Alam suatu DAS memerlukan komitmen bersama untuk bertindak secara sinergis terkoordinasi agar target. Kualitas air Sungai Ciliwung memenuhi baku mutu peruntukan tertentu dapat tercapai.

Senin, 01 Oktober 2012

Forecasting Volume Sampah Kota Depok


Pembangunan perekonomian dan perkembangan penduduk harus diikuti dengan pemeliharaan kelestarian lingkungan. Masalah sampah merupakan masalah lingkungan yang perlu diperhatikan dan segera diatasi. Di Kota Depok, volume sampah terus meningkat, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas masyarakat.

Pemerintah Kota Depok seharusnya dapat mengantisipasi peningkatan volume sampah,  yakni dengan mempersiapkan sarana pengolahan sampah yang memadai. Keterbatasan sarana pengolahan sampah yang tidak sebanding dengan volume sampah dapat mengakibatkan sampah tidak dapat terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pemkot Depok harus mengefektifkan fungsi Unit Pengolahan Sampah (UPS) di tiap wilayah, agar pengelolaan sampah sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu,  Pemkot Depok harus dapat meramalkan jumlah sampah yang dihasilkan, sehingga pengelolaan sampah dapat lebih efektif serta dapat melakukan antisipasi ketika volume sampah melebihi daya tampung sarana pengelolaan sampah.

Saat ini volume sampah dari enam kecamatan di Depok sudah mencapai 3.500 m3 per hari. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 1.300 - 1.500 m3 yang dapat terangkut ke TPA Cipayung. Kondisi ini terjadi antara lain karena keterbatasan sarana maupun prasarana di TPA Cipayung. 

TPA Cipayung memiliki luas keseluruhan mencapai 10,1 hektare, dengan penerapan system sanitary landfield. Setiap harinya, sampah yang datang ditimbun dengan tanah merah setinggi 10-12 cm. Kemudian, air limbahnya dibuang ke bak penampungan. Meningkatnya volume sampah harian dikhawatirkan melebihi daya tampung TPA Cipayung.

Dari wacana diatas, terdapat permasalahan dalam pengelolaan sampah di Kota Depok, yakni (1) Terus meningkatnya volume sampah di Kota depok;  (2) Daya tampung TPA Cipayung yang terbatas cenderung menurun dengan bertambahnya volume sampah. Pengelolaan sampah yang berkelanjutan harus memperhatikan daya tampung TPA, dengan memperhatikan volume sampah yang terus meningkat. Pemkot Depok perlu memprediksi volume sampah di kota Depok agar dapat mempersiapkan infrastruktur dan sarana prasarana pengelolaan sampah yang baik. Oleh karena itu, makalah ini akan membuat analisa komparatif mengenai volume sampah di Kota Depok dan daya tampung TPA Cipayung dengan menggunakan metode peramalan berdasarkan data volume sampah yang ada.

Dalam peramalan Time-series Forecasting Model, dikenal peramalan Penghalusan Eksponensial atau Exponential Smoothing yakni merupakan rataan bergerak dengan memberikan bobot lebih kuat pada data yang lebih terakhir dari pada data yang awal. Exponential Smoothing  terdiri dari simple exponential smoothing (SES)  dan  adjusted exponential smoothing (AES). Exponential smoothing lebih cocok untuk mencerminkan variasi yang terjadi seperti pola siklus atau efek musiman.

Peramalan volume sampah lebih tepat menggunakan Adjusted Exponential Smoothing, karena terdapat kecenderungan jumlah sampah yang trend nya terus meningkat. Adjusted exponential smoothing merupakan ramalan penghalusan eksponensial yang disesuaikan dari simple exponential smoothing (SES) dengan penambahan suatu faktor penyesuaian kecenderungan/trend, yakni menggunakan rumus:
Rumus simple exponential smoothing (SES):
Ft+1 = aDt + (1-a)Ft
 
 










Dimana:
Ft+1 =   ramalan untuk periode berikutnya; Dt =  data aktual dalam periode sekarang; Ft = ramalan yang telah ditentukan sebelumnya untuk periode sekarang; a=   faktor tertimbang yang disebut sebagai konstanta penghalus.  

Secara singkat, kesimpulan dari tehnik peramalan yang sudah dilakukan adalah:


1)  Berdasarkan hasil peramalan dengan metode simple exponential smoothing (SES) dan adjusted exponential smoothing (AES), volume sampah di Kota Depok tren nya terus meningkat. Pemkot Depok hingga tahun depan (2010) dapat dikatakan hanya perlu menambah sarana pembuangan sampah, karena di tahun 2010 volume sampah mencapai 1.293.290,23 m3  dan sampah masih dapat ditampung oleh TPA Cipayung.
2) Ketika periode peramalan volume sampah diperpanjang hingga 2019, diperoleh nilai perkiraan volume sampah mencapai 12.106. 074, 44 m3. Artinya, pada tahun 2019 TPA Cipayung telah habis masa pakai dan tidak dapat lagi menampung sampah. Setidaknya 2 tahun sebelumnya, Pemkot Depok harus dapat mencari tempat alternatif TPA untuk menggantikan TPA Cipayung, dan mempersiapkan infrastruktur untuk TPA yang baru.
3) Pemkot Depok dapat pula menggunakan alternatif teknologi untuk memberdayakan sampah sebagai sumberdaya, misalnya teknologi daur ulang; menggunakan incenerator; atau pun mengubah gas metan hasil proses anaerob bakteri pengurai sampah menjadi energi listrik.

Kajian singkat by. Rahma Widhiasari with team 




Senin, 05 Maret 2012

Satus Mutu Air Hilir Ciliwung: Tercemar Berat


Daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung yang terbentang dari hulu (Puncak-Bogor) hingga hilir (Ancol-Jakarta) tidak seluruhnya tercemar. Kita masih dapat menyeksikan pemandangan indah dan menyejukan ketika menyusuri bagian hulu Sungai Ciliwung. Namun, tidak demikian dengan hilir sungai yang telah berstatus tercemar berat. Air Sungai Ciliwung sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi sama sekali. Di bagian hulu, yakni di wilayah Telaga Warna, status mutu air Kelas I, yaitu peruntukan sebagai air baku air minum. Sedang untuk wilayah Attaawun-Cisarua berada pada status mutu kelas II, yakni dapat dimanfaatkan untuk budidaya ikan air tawar, rekreasi, mengairi tanaman dll. Wilayah Jemabatan Gadog-Kelapa Dua berstatus Kelas III, yakni dapat dimanfaatkan untuk pengairan pertanian. Namun hilir Ciliwung, mulai dari Manggarai memiliki status mutu Kelas IV, yang hanya dapat dimanfaatkan untuk mengairi tanaman.

DAS Ciliwung memiliki fungsi sosial dan fungsi ekonomi. DAS Ciliwung yang melintasi wilayah Ibu Kota DKI Jakarta, adalah DAS urban yang memiliki arti strategis dalam konteks nasional, yang perlu dikelola secara khusus. Panjang sungai Ciliwung dari bagian hulu sampai muara di pesisir pantai Teluk Jakarta adalah  ± 117 km, dengan luas DAS Ciliwung sekitar 347 km2. DAS Ciliwung mencangkup areal mulai dari bagian hulu di Tugu Puncak (Kabupaten Bogor) sampai hilir di Teluk Jakarta (Jakarta Utara). Kegiatan pembangunan di DAS Ciliwung, baik di hulu maupun di hilir tergolong sangat intensif dan pertambahan penduduk cukup tinggi. Perubahan penggunaan lahan, serta bertambahnya kawasan pemukiman di Ciliwung hulu, tengah dan hilir berimplikasi terhadap masuknya polutan ke DAS Ciliwung. Sumber pencemaran Sungai Ciliwung berasal dari limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, dan limbah peternakan.

Hasil pemantauan BPLHD (2007) menyebutkan bahwa kualitas air Sungai Ciliwung  semakin tercemar pada bagian hilir yaitu berada pada kondisi kelas IV, artinya air Sungai Ciliwung hanya dapat digunakan untuk menyiram tanaman. Hasil penelitian Fadly (2007) mengungkapkan bahwa kualitas air Sungai Ciliwung yang memasuki Kota Jakarta yaitu bagian hilir telah berada di atas baku mutu air sungai KepGub DKI Jakarta No.582 Tahun 1995, yang artinya telah tercemar. Keberagaman kegiatan di sepanjang DAS Ciliwung menimbulkan buangan limbah, yang berkontribusi terhadap peningkatan beban pencemaran di DAS Ciliwung. Badan air memiliki kemampuan untuk memulihkan diri dan melakukan pembersihan diri pada batasan tertentu. Namun beban pencemaran yang terus meningkat dapat menurunkan kemampuan pemulihan diri sungai. kemudian berdampak pada penurunan kualitas air sungai. Berdasarkan uraian di atas, pokok permasalahan adalah belum adanya penelitian yang menyeluruh tentang daya tampung di DAS Ciliwung dari hulu ke hilir, padahal kualitas air DAS Ciliwung semakin tercemar dan mengarah pada peningkatan beban pencemaran. Oleh karena itu, perlu diketahui informasi mengenai daya tampung beban pencemaran di DAS Ciliwung, yang kemudian menjadi dasar pengelolaan pengendalian pencemaran di DAS Ciliwung..

Widhiasari (2010), dengan pendekatan penelitian kuantitatif-deskriptif melakukan penelitian terhadap DAS Ciliwung. Metode kuantitatif deskriptif yaitu penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat mengenai sifat-sifat populasi. Tujuannya adalah untuk menjelaskan kondisi kualitas air, beban pencemaran dan daya tampung di DAS Ciliwung, serta mendeskripsikan program pengendalian pencemaran di DAS Ciliwung. Metode yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian adalah dengan perhitungan metode Streeter Phelps (Program QUAL2Kw), observasi lapangan, wawancara mendalam dan studi literatur. Penelitian menggunakan data sekunder, berupa data kualitas air sungai (tahun 2004-2008), data hidrologi sungai, data curah hujan dan data sosial ekonomi. Serta data primer berupa hasil wawancara mendalam, dengan nara sumber yang mewakili pengelola DAS Ciliwung, kepala desa dan lurah di wilayah sekitar DAS Ciliwung. Penelitian dilakukan pada Desember 2009 hingga Februari 2010.

Hasil penelitian Widhiasari (2010) menunjukan, bahwa kondisi kualitas air berdasarkan parameter dissolved oxygen (DO), biological oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) di sepanjang Sungai Ciliwung dari tahun 2004 hingga 2008 fluktuatif. Kualitas air Sungai Ciliwung, dari hulu ke hilir menunjukkan trend semakin menurun, semakin ke hilir kualitas air semakin tercemar.

Pada tahun 2008, konsentrasi DO di hulu (Atta’awun-Katulampa) adalah 6,13-10,29 mg/l; di tengah (Katulampa-Kelapa Dua) konsentrasi DO adalah 3,85-9,19 mg/l dan di hilir (Kelapa Dua-PIK) konsentrasi DO adalah 0,56-3,05 mg/l. Oksigen terlarut semakin kecil konsentrasinya di hilir, dan konsentrasi BOD semakin besar di hilir. Pada tahun 2008, konsentrasi BOD di hulu (Atta’awun-Katulampa) adalah 1,8-4,8 mg/l; di tengah (Katulampa-Kelapa Dua) konsentrasi BOD adalah 2,6-14,15mg/l dan di hilir (Kelapa Dua-PIK) konsentrasi DO adalah 7,9-19,58 mg/l.

Penelitian Widhiasari (2010), dalam perhitungan menggunakan program QUAL2Kw, Sungai Ciliwung dibagi menjadi 6 segmen. Hasil analisa menunjukan bahwa beban pencemaran tertinggi berada di segmen 6 (Manggarai-Ancol) yakni sebesar 20.674,66 kg/jam. Beban pencemaran Sungai Ciliwung, dari hulu ke hilir meningkat signifikan di bagian hilir yakni di wilayah DKI Jakarta. Dari hasil analisa menggunakan program QUAL2Kw profil DO di hulu Sungai Ciliwung memperlihatkan bahwa konsentrasi DO mencapai 7-9,8 mg/l, kemudian mulai menurun di bagian tengah (2-6,8mg/l) dan  di hilir konsentrasi DO (0,30-2 mg/l). Dari hasil simulasi daya tampung beban pencemaran BOD, didapatkan bahwa keenam segmen tidak memiliki daya tampung untuk baku mutu kelas I dan kelas II. Pada baku mutu kelas III, segmen 1 dan segmen 2 masih memiliki daya tampung untuk baku mutu kelas III, pada ruas Kedung Halang-Pondok Rajeg (segmen 3), telah melampaui daya tampung untuk baku mutu kelas III. Jadi,  segmen 3 hingga segmen 6 sudah tidak memiliki daya tampung untuk baku mutu kelas III. Jika konsentrasi BOD dibandingkan dengan baku mutu kelas IV, segmen 1 hingga segmen 5 masih memiliki daya tampung untuk baku mutu kelas IV. Ruas Kwitang-Ancol (segmen 6), telah melampaui daya tampung untuk baku mutu kelas IV. Jadi, segmen 6 sudah tidak memiliki daya tampung untuk baku mutu kelas IV. Kondisi ini didukung dengan nilai konstanta aerasi di bagian hilir semakin kecil, yang artinya kemampuan pulih diri badan air di bagian hilir pun semakin kecil. Program pengendalian beban pencemar dapat dilakukan melalui pengelolaan badan air dan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan media berfokus pada  perbaikan kualitas air sungai dengan melakukan reduksi BOD, meningkatkan debit air serta meningkatkan suplai oksigen. By. Rahma Widhiasari

Selasa, 07 Februari 2012

Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan DAS Ciliwung


Konsep Pembangunan Berkelanjutan, tentunya tidak asing lagi bagi insan lingkungan. Tulisan ini untuk kembali mengingat tentang apa itu pembangunan berkelanjutan? Dan, bagaimana prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, terdapat beberapa komponen yang harus diimplementasikan dalam perencanaan pembangunan, komponen tersebut adalah: Prinsip dasar piagam bumi (normatif, sistim nilai); Kesepakatan global (partisipatif, lintas pelaku); dan Sistim pengelolaan pembangunan (proses perencanaan-pembiayaan-pelaksanaan-pengedalian pembangunan).
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan..
Demikian pula dalam rencana pengelolaan Ciliwung, selain memanfaakan potensi  ekonomi baik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan maupun pemanfaatan sumberdaya air, seharusnya menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatannya. Hal ini misalnya, ketika pemanfaatan Sungai Ciliwung sebagai wadah buangan limbah, seharusnya stake holder memperhatikan daya tampung atau kemampuan asimilasi Sungai Ciliwung dalam mengencerkan limbah. Selain itu, penggunaan lahan dan aktivitas mengkonversi hutan di sekitar DAS Ciliwung menjadi lahan pertanian, perkebunan atau pun pemukiman seharusnya memperhatikan daya dukung lingkungan.

Namun pada kenyataannya, penggunaan lahan di sekitar bantaran Sungai Ciliwung, serta pemanfaat Ciliwung sebagai tempat buangan limbah telah mengabaikan prinsip ekologi. Sungai Ciliwung semakin tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga. Kondisi tanah di sekitar Sungai Ciliwung hilir semakin tercemar oleh bahan kimia baik dari sampah padat, pupuk maupun pestisida. Masalah pencemaran ini disebabkan masih rendahnya kesadaran para pelaku dunia usaha ataupun kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat dengan kualitas lingkungan yang baik. Sehingga ada kecenderungan terjadi penurunan daya dukung lingkungan dan penurunan daya tampung Sungai Ciliwung
Pembangunan berkelanjutan menjadi sebuah konsep yang sangat penting untuk mensinergiskan dengan pengelolaan DAS Ciliwung. Berdasarkan program pengelolaan DAS Ciliwung di atas kita dapat mengidentifikasi masing-masing program tersebut apakah telah sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, yang salah satunya adalah komponen Prinsip Dasar Piagam Bumi.

Pada dasarnya program-program pengelolaan Sungai Ciliwung yang dicanangkan oleh Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung, Departemen Kehutanan, sesuai dengan Prinsip Menjaga keutuhan ekologi. Namun ketika program tersebut dilaksanakan, tercapailah tujuan menjaga keutuhan ekologi yang juga berdampak pada menjaga komunitas kehidupan dan memelihara keadilan sosial dan ekonomi.

Hal ini misalnya, ketika dilaksanakan program pengolahan air tercemar dengan teknologi lahan basah (Constructed Wetland) yang tujuan utamanya adalah menjaga keutuhan ekologi. Pengolahan air tercemar dengan teknologi lahan basah bertujuan untuk meminimalisasi limbah yang masuk ke Sungai Ciliwung, namun ini juga bermanfaat bagi masyarakat sekitar Sungai Ciliwung yang dapat terus menikmati sumberdaya perairan Sungai Ciliwung. Sebagai barang publik, Sungai Ciliwung dapat dimanfaatkan semua lapisan masyarakat, tidak hanya kalangan industri yang berhak membuang limbah ke Sungai Ciliwung, namun masyarakat juga memiliki hal untuk menikmati sumberdaya Sungai Ciliwung. Sehingga dalam hal ini, program pengolahan air tercemar dengan teknologi lahan basah (Constructed Wetland) juga sesuai dengan prinsip piagam bumi yang lain, yakni memelihara keadilan sosial dan ekonomi.

Dalam pelaksanakan program pengelolaan Sungai Ciliwung diperlukan pula partisipasi masyarakat sekitar untuk turut aktif sebagai subjek dan objek program. Oleh karena itu, seharusnya dalam penyusunan rencana program pengelolaan Sungai Ciliwung digunakan pendekatan partisipatif yang mengakomodasi keinginan masyarakat. Sehingga dalam hal ini terpenuhi prinsip demokrasi, anti kekerasan, dan perdamaian.

Demikian pula dengan pelaksanaan program lainnya, misalnya program percontohan pemilahan sampah organik dan anorganik, yang kemudian hasil olahan sampah organik adalah pupuk kompos. Jika program ini terus dilaksanakan, maka secara ekonomi program ini sangat bermanfaat bagi masyarakat. Program pemilahan sampah organic dan anorganik yang menghasilkan produk akhir yakni pupuk kompos akan memberikan hasil rupiah, dan ini tentunya memiliki peran dalam memberantas kemiskinan. Masyarakat yang turut serta dalam produksi kompos dari sampah organik dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil penjualan pupuk kompos. Hal ini sesuai dengan prinsip Deklarasi Pembangunan Berkelanjutan, yakni Memberantas kemiskinan dan menerapkan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan.

Kemudian, untuk program hutan rakyat, yakni membangun Hutan Rakyat Kemitraan, dimana dalam pembuatannya dilakukan melalui ikatan kerjasama yang saling menguntungkan antara masyarakat sebagai pemilik lahan dengan pengusaha industri perkayuan. Pengusaha industri perkayuan disini, lebih diutamakan pada pengusaha kayu local berskala kecil, agar pasokan kayu dari masyarakat dapat lebih mudah diperoleh. Pembangunan model hutan rakyat kemtraan dimaksudkan untuk memperoleh bentuk hutan rakyat kerjasama antara masyarakat kelompok tani hutan rakyat dengan industri perkayuan yang saling menguntungkan dan mampu meningkatkan produksi kayu bahan baku industri perkayuan serta kesejahteraan masyarakat. Program hutan rakyat ini sangat sesuai dengan prinsip Deklarasi Pembangunan Berkelanjutan: Menggalang komitmen bersama membangun secara berkelanjutan. Berdasarkan program-program di atas, program pengelolaan Sungai Ciliwung dapat dikatakan telah memenuhi prinsip pembangunan berkelanjutan. Program telah sangat baik, namun, bagaimana implementasinya? Ini tentu masih menjadi PR bersama, bagi pemerintah dan masyarakat. Ini karena, hingga 2011, hilir Ciliwung masih berstatus tercemar berat.

Selasa, 23 Agustus 2011

Energi Nabati dan Pengurangan Emisi Karbon


Energi nabati, tentu bukan suatu hal yang asing kan? Tulisan ini hanya untuk memotivasi para peneliti yang bergerak di energy terbarukan. Meski belum banyak teraplikasi, namun potensi energy nabati sangat besar di masa mendatang :)

Peningkatan jumlah penduduk berkorelasi positif dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, ini berdampak terhadap peningkatan kebutuhan energi di semua sektor pengguna energi. Data ESDM, konsumsi energi final (tanpa biomasa untuk rumah tangga) diperkirakan tumbuh rata-rata 6,7% per tahun. Sedangkan pangsa permintaan energi final menurut jenis, terdiri dari BBM (33,8%), gas (23,9%), listrik (20,7%), batubara (14,9%), LPG (2,6%), BBN (2,9%), dan biomasa komersial (1,1%).  Sementara itu, askes masyarakat terhadap energi (modern) masih terbatas. Rasio elektrifikasi tahun 2010 sebesar 67,2% (32,8% rumah tangga belum berlistrik). Saat ini, pengembangan infrastruktur energi di daerah perdesaan/terpencil dan pulau-pulau terluar pada umumnya belum mendapatkan akses energi.

Menurut Soerawidjaja (2010), bahan bakar nabati (BBN) adalah semua bahan bakar yang berasal dari minyak nabati. Bahan bakar nabati yang dapat dikembangkan adalah biodiesel dan bioethanol. Bahan baku hayati biofuel dapat berasal dari produk-produk pertanian yang sangat berlimpah di Indonesia. Energi nabati adalah satu-satunya sumber energi terbarukan, yang merupakan sumber daya bahan bakar jadi mampu menggantikan bahan bakar fosil dalam semua pasar energi. Sedangkan energi terbarukan yang lain, seperti sinar surya, tenaga air, tenaga angin, panas bumi, arus laut, dan lainnya, hanya mudah dikonversi menjadi listrik.  Pemanfaatan energi nabati dapat menggunakan teknologi dan mesin yang selama ini sudah matang dikembangkan untuk mendayagunakan sumber daya fosil. Sumber daya hayati Indonesia berlimbah, potensial bagi pengembangan energi nabati. Energi nabati dalam penelitian ini dikhususkan pada biomassa bahan-bahan organik dari tumbuhan.

Potensi energi nabati, yakni sumber daya hayati tersedia di semua pulau, sehingga dapat menjadi alternatif solusi bagi permasalahan kesulitan transmisi dan  distribusi listrik maupun bahan bakar minyak.  Sejauh ini, interkoneksi jaringan listrik hanya mungkin atau bernilai ekonomis untuk pulau-pulau besar dan sejumlah pulaupulau relatif kecil di dekatnya. Sejumlah besar pulau (> 10.000) harus bisa menghasilkan dan memenuhi kebutuhan bahan bakar dan listriknya sendiri (self-sufficient). Sementara, banyak propinsi dan pulau tak memiliki cadangan bahan bakar fosil yang memadai atau bahkan nihil. Bangsa Indonesia dikaruniai biodiversitas dan lahan potensial yang amat besar. Seharusnya potensi sumber daya hayati dapat didayagunakan sebagai sumber energy nabati. Hal ini mewujudkan pemanfaatan energi berkelanjutan untuk memperkuat keterjaminan pasokan energi, melancarkan pertumbuhan ekonomi yang merata, dan turut meredam emisi gas-gas rumah kaca.


Energi nabati sebagai bagian bioenergi merupakan komponen kunci dan jalur strategis dalam perjuangan mencapai Millenium Development Goals (MDGs). Oleh sebab itu, bioenergi merupakan sektor perekonomian  energi dunia yang paling dinamik dan berubah cepat.  Pertumbuhan pesat industri bahan bakar nabati (BBN, liquid biofuels) pada dekade ini telah kita alami bersama.  Pada tahun 2005, bioenergi memasok sekitar 10 % dari kebutuhan energi dunia dan merupakan 78 % dari seluruh pasokan energi terbarukan. Pemanfaatan energi nabati merupakan implementasi pemanfaatan energi ramah lingkungan yang dapat mengurangi emisi karbon. Pemanfaatan energi nabati dapat memanfaatkan inisiatif energi bersih, melalui program clean development mechanism (CDM).  Melalui CDM, Indonesia dapat mengimplementasikan pemanfaatan energi nabati, dengan berkerja sama dengan negara industri . Pada 2010, Indonesia ber komitmen penurunan emisi 26%, dan ini dapat diwujudkan dengan pemanfaatan energi nabati.

 Potensi Kekayaan Alam
Indonesia memiliki sumber-sumber energy nabati yang berlimpah. Sumber-sumber energi hijau di Indonesia yang sudah dieksploitasi di Indonesia, diantaranya adalah ubi, jarak dan  kelapa sawit. Menurut Soerawidjaja (2010), Indonesia juga harus mampu mengungkap dan merealisasikan potensi tersidik dari tumbuhan-tumbuhan energi multiguna kawasan tropik seperti :  kranji/mabai (Pongamia pinnata), nyamplung/bintangur (Calophyllum inophyllum),  nimba (Azadirachta indica),  gatep pait (Samadera indica),  jarak pagar (Jatropha curcas), kelor (Moreinga oleifera),  kacang hiris (Cajanus cajan),  sukun (Artocarpus altilis), serta  aneka alga mikro. Dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki,  Indonesia berpotensi menjadi  produser utama energy nabati di dunia dengan memproduksi BBN. Indonesia adalah negara dengan kepemilikan kapasitas & kualitas produksi BBN tertinggi dibandingkan negara- negara lain.


Potensi Mengurangi Emisi Karbon
Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan karena tidak menimbulkan emisi polutan yang berbahaya terhadap kesehatan. Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dapat menurunkan emisi bila dibandingkan dengan penggunaan minyak solar. Biodiesel terbuat dari minyak nabati yang berasal dari sumber daya yang dapat diperbaharui. Pertimbangan lain untuk penggembangkan biodiesel adalah makin tingginya harga minyak bumi dan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).

Program menurunkan emisi GRK dari segi sumber emisi (source) maupun penyediaan wadah (sink) sehingga dapat meredam pemanasan dan perubahan iklim global. Teknologi untuk mitigasi GRK dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: untuk sisi penawaran dan untuk sisi permintaan. Untuk sisi penawaran dapat dilakukan  dengan menggunakan sistem konversi yang lebih efisien, mengubah bahan bakar dari energi yang mempunyai emisi tinggi menjadi energi yang mempunyai emisi rendah, dan meningkatkan  penggunaan energi terbarukan. Untuk sisi permintaan dapat melalui demand side management dan penggunaan peralatan yang lebih efisien. Adaptasi dilakukan melalui penyesuaian sistem produksi maupun perubahan perilaku kedalam program-program baik jangka pendek, menegah dan panjang dalam rangka mengimplementasikan mitigasi GRK.

Penggunaan BBM yang merupakan bahan bakar fosil ini secara langsung akan berpengaruh pada besarnya emisi GRK. Sementara, sektor transportasi merupakan konsumen BBM terbesar di Indonesia yang mencapai 33,3 juta kl pada tahun 2005. Konsumsi BBM diperkirakan akan terus meningkat dengan pertumbuhan sebesar 6,2% per tahun. BBN merupakan energi terbarukan yang berpotensi menjadi salah satu opsi untuk mitigasi GRK di sektor tranportasi pada saat ini. Diharapkan di masa mendatang BBN juga dapat menjadi substitusi BBM di sektor lainnya. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui potensi pengurangan emisi GRK dari pemanfaatan BBN.

Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Penggunaan Biodiesel
Parameter
Unit/Tahun
Jangka Menengah (2010-2015)
Jangka Panjang (2015-2025)
Substitusi Minyak Solar
Ton minyak
6,000,000
16,000,000
Pengurangan Emisi CO2
Juta ton
19.12
50.98

Penanaman biomasa termasuk kelapa sawit merupakan sumber penyerapan CO2 karena adanya proses fotosintesis dan respirasi. Pengembangan kebun kelapa sawit dengan pola tanpa bakar (zero burning) dapat menghasilkan O2, menyerap CO2 (diprakirakan sekitar 22.470 ton CO2/ha) dan menghasilkan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Satu hektar kebun sawit yang sudah rerproduksi dapat menghasilkan biomassa berupa batang, pelepah dan tandan sawit sebesar 36 ton per tahun. Jumlah biomassa sebanyak ini dapat menyerap emisi CO2 sebanyak 25 ton per tahun dan mengubahnya menjadi udara bersih berupa O2 sebanyak 18 ton per tahun (Deptan, 2008). Potensi ini dapat ditransaksikan melalui mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism-CDM). Kegiatan sektor pertanian dan kehutanan lain yang terkait mitigasi GRK adalah: memanfaatkan biomas sebagai pengganti bahan bakar fosil, dan  perluasan areal pertanian dengan tidak membuka hutan.  by. Rahma Widhiasari

Senin, 01 Agustus 2011

Mengkritisi Kelambatan Pemerintah dalam Penyelesaian Pencemaran Minyak Montara


 Hampir dua tahun telah berlalu. Namun, kejelasan status ganti rugi pencemaran minyak Blok Montara tidak diketahui ujungnya. Pencemaran minyak Blok Montara di Laut Timor terjadi akibat ledakan kilang minyak Montara, Australia, pada 21 Agustus 2009. Blok  Montara terletak di Blok Atlas Barat, Laut Timor, yang dioperasikan PTTEP Asutralasia. Akibat ledakan, setiap hari kilang itu memuntahkan 500.000 liter minyak mentah, gas, kondensat, dan zat timah hitam yang mencemari 16.400 km wilayah Laut Timor.
Pencemaran tersebut mengakibatkan terancamnya 17.000 masyarakat pesisir Pulau Timor, berdampak dahsyat terhadap masyarakat di Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua. Bahkan, nelayan Kolbano di Timor Tengah Selatan tak dapat menangkap ikan di pantai selatan Pulau Timor. Usaha nelayan di wilayah perairan Rote Ndao dan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara terancam gulung tikar akibat meledaknya ladang minyak Montara di dekat gugusan Pulau Pasir (ashmore reef) yang menjadi pusat pencarian ikan dan biota laut lain oleh nelayan tradisional. Berbagai perubahan terjadi mengindikasikan telah terjadi gangguan lingkungan perairan sebagai habitat ikan, alga, dan rumput laut. Jutaan ikan diduga bermigrasi akibat perubahan lingkungan sekitarnya, dan populasi rumput laut menurun sebagai dampak pencemaran.
Pada Mei 2011, Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) mengungkapkan, tidak ditemukan lagi tumpahan minyak di pantai-pantai di NTT secara signifikan seperti pada waktu awal kejadian. Menurut YPTB, ini disebabkan karena tumpahan minyak telah ditenggelamkan oleh AMSA (Australia Maritime Safety Authority) dengan menggunakan bubuk kimia sangat beracun Corexit 9500 dalam jumlah sangat besar yang diperkirakan mencapai jutaan liter. Faktanya, Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (Tim Nas PKDTML) hanya  mengikuti skenario PTTEP Australasia, dan bersepakat menyatakan tidak ditemukan tumpahan di perairan.  
Hasil survei YPTB menunjukkan, tumpahan minyak Montara bercampur zat timah hitam dan Corexit 9500 itu masih tetap mengendap di dasar Laut Timor dan di bawah pasir. Jika dibandingkan dengan yang terjadi di Teluk Meksiko, penanganannya lebih pada pendekatan alamiah dan ramah lingkungan. Menghindari penggunaan bubuk kimia. Diperlukan, penelitian lanjutan yang menyeluruh independen dan transparan untuk menelusuri fakta dampak pencemaran di Laut Timor. Apalagi pencemaran ini menyebabkan masyarakat pesisir, nelayan, dan Pemerintah Daerah NTT menderita kerugian yang besarnya mencapai Rp 510 miliar.  


 sumber gambar: http://www.matanews.com
 Hitung Kerugian
              Tumpahan minyak dari Blok Montara yang masuk ke wilayah perairan Indonesia telah mengakibatkan kerugian ekonomi, social, dan lingkungan yang berdampak tahunan. Bencana ini, merugikan ribuan nelayan dan pembudidaya rumput laut di NTT, menurunkan fungsi kelautan, mematikan biota laut, dan menurunkan keanekaragaman hayati, serta berpotensi menimbulkan dampak turunan berupa pengangguran dan menambah angka kemiskinan.
 Seperti diketahui,  lebih dari 60 persen penduduk Indonesia tinggal di kabupaten/kota yang berhadapan dengan wilayah laut, dan sekitar enam juta kepala keluarga menggantungkan kebutuhan ekonominya dari sektor perikanan. Khusus untuk NTT, bila soal pencemaran ini tak cepat disikapi pemerintah, nasib kurang lebih 17 ribu warga NTT yang menggantungkan hidupnya dari laut terancam. Sebab, tumpahan minyak di laut dapat menimbulkan polusi dengan bahaya yang beragam. Dan jenis polutan dari minyak bumi itu bisa bersumber dari fraksi ringan, fraksi berat dan logam berat. Dan ini semua memberi ancaman bagi ekosistem kelautan, misalnya terganggunya kehidupan fitoplankton, terumbu karang, mangrove, rumput laut dan padang lamun, kehidupan ikan dan spawning ground. Bagi masyarakat, dampaknya berupa pendapatan nelayan menurun, kehilangan pekerjaan, gangguan kesehatan, estetika perairan rusak, dan ekonomi keluarga terganggu.
 Oleh karena itu, untuk melakukan klaim dapat dilakukan dengan menghitung besaran dampak langsung kepada masyarakat, kerusakan secara fisik oleh adanya tumpahan minyak, dan dampak terhadap lingkungan sampai periode pemulihan. Beberapa peneliti telah melakukan studi lapangan di Pulau Rote. Mereka memperoleh informasi bahwa  petani-petani rumput laut mengeluh produksi rumput mereka menurun, akibatnya ada yang beralih mencari pekerjaan lain. Padahal membudidayakan rumput laut itu merupakan pekerjaan yang sangat menjanjikan. Pemerintah mestinya turun ke lapangan dan melihat langsung melihat langsung kondisi masyarakat yang terkena dampak pencemaran agar mereka tak terus hidup menderita.
 Segerelah pemerintah menyelesaikan masalah pencemaran Laut Timor dengan mengedepankan perlindungan terhadap keselamatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan/pesisir. Penyelesaian pencemaran di atas dapat menjadi preseden baik dalam mengatasi masalah pencemaran di laut Indonesia. Bila hal tersebut belum dapat dilakukan maka atas dasar pertimbangan kehati-hatian, keselamatan warga, dan lingkungan hidup, serta menjamin perlindungan perairan tradisional, presiden patut mengeluarkan kebijakan moratorium pertambangan di wilayah pesisir dan laut. Namun ternyata, pemerintah sangat lamban atau berlama-lama menuntaskan persoalan ini sehingga masyarakat di Provinsi NTT  menjadi korban dampak pencemaran ini.
 Membandingkan dengan Kasus Teluk Meksiko
Penyelesaian pencemaran minyak Montara jauh berbeda dengan penyelesaian kasus yang sama di Teluk Meksiko. Pemerintah AS terus memperjuangkan warganya agar mendapatkan ganti rugi. Peristiw di Teluk Meksiko, menyebabkan British Petroleum (BP mengalami kerugian sebesar 40,9 miliar dolar AS atau Rp 384 triliun, meski demikian mereka juga menyediakan dana 20 miliar dolar AS atau hampir Rp 172 triliun untuk membayar ganti rugiu kepada masyarakat, Pemerintah AS, dan perbaikan lingkungan yang tercemari minyak. Berbeda dengan yang terjadi di Laut Timor, PTTEP Australasia hingga saat ini tidak pernah mengeluarkan satu sen pun sebagai wujud tanggung jawab atas dampak pencemaran itu. Dan ironisnya, Tim Nas PKDTML tidak pernah melakukan investigasi ilmiah. Rumusan klaim yang mereka ajukan hanya berdasarkan asumsi-asumsi dengan mengeluarkan angka kompensasi dan luas wilayah pencemaran minyak yang terus berubah setiap saat.
Mestinya, pemerintah segera menindaklanjuti proses ganti rugi pencemaran minyak Montara. Perundingan Timnas PKDTML dan PTTEP Australasia harus pula dibuka untuk umum setransparan mungkin dan dapat diinformasikan pada masyarakat. Perundingan Tim Nas PKDTML dan PTTEP Australasia harus melibatkan masyarakat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), selaku kepala negara, diharapkan dapat mengambil langkah strategis dalam menangani kasus pencemaran di Laut Timor, seperti yang dilakukan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama saat menangani kasus pencemaran di Teluk Meksiko. Tuntutan ganti rugi masyarakat atas pencemaran Laut Timor harus ditindaklanjuti dengan perundingan yang menguntungkan bagi mereka masyarakat yang terkena dampak. Sudah seharusnya pemerintah memperjuangkan kepentingan rakyatnya.

Indonesia vs Montara
 Pada 21 Agustus 2009 terjadi ledakan di rig West Atlas, platform sumur minyak Montara di Laut Timor yang terletak sekitar 690 km arah barat Darwin, mengakibatkan pencemaran laut di perairan Australia Barat, Timor Leste dan Indonesia. Tumpahan minyak berlangsung selama 74 hari, hingga 3 November 2009. Operasi penyelamatan berlangsung setelah lima kali percobaan dan kebocoran berhasil ditutup  menggunakan lumpur sebanyak 3.400 barel yang dipompakan ke sumur minyak. West Atlas dimiliki oleh Seadrill dari Norwegia yang menyewakan rig tersebut kepada PTT Exploration and Production (PTTEP) Australasia, yang 100 persen sahamnya dimiliki oleh pemerintah Thailand. Kebocoran minyak diperkirakan sekitar 2.000 barel per hari. Pada Oktober 2009, seperti dikonfirmasi PTTEP, penyebaran minyak telah mencapai area seluas 6.000 km2, mengalir sepanjang 120 km, hingga perairan Indonesia.
Tumpahan minyak Blok Montara telah mengakibatkan kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan. Namun sangat disayangkan, meski telah berlangsung berbulan-bulan namun pemerintahan SBY tak melakukan apapun. Baru setelah kian  maraknya protes masyarakat, LSM dan media akhirnya pada 22 Juli 2010 lalu, Presiden SBY menyatakan akan mengajukan klaim ganti rugi kepada PTTEP. Sikap Presiden SBY ini,  sangat jauh berbeda dengan Barack Obama yang dalam waktu kurang dari 2 bulan berhasil memperoleh komitmen BP untuk membayar kerugian minimal 20 miliar dolar AS. Obama juga berhasil memenuhi tuntutan rakyatnya.
Pencemaran Laut Timor terjadi jauh sebelum bencana Teluk Meksiko, mungkin sebagian pihak memaklumi kelambanan Pemerintah Indonesia. Presiden SBY juga mungkin juga tak bisa disamakan keberaniannya dengan Presiden Barack Obama. Namun dengan keberhasilan Obama atas kasus Teluk Meksiko, paling tidak SBY mempunyai contoh bagus sebagai pijakan untuk bersikap. Sikap tanggap, tegas, berani, committed dan memihak rakyat ala Obama mestinya bisa dicontoh untuk membela kepentingan rakyat dan nelayan di NTT  sekaligus menuntut pertanggunggjawaban PTTEP.
Oleh sebab itu kita menuntut agar pemerintahan SBY bergegas mengumpulkan informasi dari daerah (pemda dan DPRD Provinsi NTT dan Kabupaten Rote, LSM, dsb) dan menyiapkan klaim ganti rugi bagi masyarakat, menggugat PTTEP, dan menyelesaikan kasus pencemaran Laut Timor secara hukum, demi pemulihan ekosistem, ekonomi masyarakat dan harga diri bangsa yang sebelumnya terabaikan.
         Terakhir, kita harus belajar dari sikap bertanggungjawab BP yang telah berupaya maksimal dan berhasil menghentikan bocoran minyak pada medan yang sulit di laut dalam Teluk Meksiko dalam waktu yang relatif singkat (sekitar 86 hari).
  
Penutup
 Penyelesaian kasus Laut Timor dinilai sangat lambat. Kondisi ini semakin merugikan nelayan dan masyarakat pesisir yang terkena dampak. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan pencemaran minyak pun semestinya dapat segera ditanggulangi. Pemerintah hendaknya segera mengambil langkah tepat dan tidak menunda-nunda penyelesaian kasus pencemaran tersebut. Pemerintah melalui tim nasional, perlu segera bernegosiasi. Bila negosiasi gagal, pemerintah dapat mengajukan gugatan leawt pengadilan dan perusahaan pengeboran itu (PTTEP Australasia) dibawa ke dalam hukum nasional Indonesia dengan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan PP 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 serta PP 19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Lingkungan.
Pada  22 Juli 2010 lalu Presiden SBY menyatakan akan mengajukan klaim ke PTTEP Australasia. Sikap SBY ini sangat jauh berbeda dengan sikap Presiden AS, Barack Obama yang dalam waktu kurang dari dua bulan berhasil memperoleh komitmen BP untuk membayar kerugian minimal 20 miliar dolar AS.
Terkait dengan hal tersebut, maka semua pihak perlu menuntut pemerintahan SBY bergegas mengumpulkan informasi dari daerah, baik itu dari pemda, DPRD, LSM dan berbagai elemen masyarakat agar menyiapkan klaim ganti rugi bagi masyarakat, menggugat PTTEP Australasia, dan  menyelesaikan pencemaran Laut Timor secara hukum.
Keberhasilan Obama menegosiasikan penyelesaian kasus pencemaran Teluk Meksiko seharusnya digunakan oleh Presiden SBY untuk menyelesaikan kasus selain Montara juga Lapindo. Kita pun meminta agar kontraktor, baik Lapindo maupun PTTEP menjunjung tinggi nilai etika/moral, menerapkan prinsip-prinsip good governance dan menunjukkan peran serta tanggung`jawab kemanusiaan  yang nyata dalam tatanan bisnis global agar kedua kasus pencemaran dapat diselesaikan secara adil dan bermoral.
         Indonesia adalah negara berdaulat yang  seharusnya berani menuntut agar perusahaan pengebor minyak di Blok  Montara itu yang datang ke Indonesia untuk melakukan negosiasi. Seharusnya pemerintah memanggil PTTEP Australasia guna mempertanggungjawabkan pencemaran minyak yang telah merugikan rakyat. Sebagai bangsa berdaulat, Indonesia memiliki hak untuk meminta pertanggung jawaban akibat pencemaran tersebut.  By. Rahma Widhiasari