Senin, 20 Juni 2011

Paradigma Holistik dalam Pengentasan Krisis Ekologis


Paradigma Cartesian-Newtonian telah menghegemoni cara pandang manusia modern. Paradigma ini telah menjadi bagian, cara, berada dalam sistem, pola, dan dinamika modernisme, terlepas dari kenyataan apakah manusia modern menyadari hal ini atau tidak. Pengalaman sehari-hari tidak berdiri dan lepas dari filsafat dan gambaran tentang dunia yang dianut manusia modern dipengaruhi oleh cara pandang sains modern. Heriyanto menulis:

Hegemoni Paradigma Cartesian-Newtonian terhadap pandangan dunia manusia modern terkait erat dengan kenyataan sejarah bahwa peradaban modern memang dibangun atas dasar ontologi, kosmologi, epistemologi dan metodologi yang dicanangkan oleh dua tokoh utama penggerak modernisme, yaitu Rene Descartes dan Isaac Newton.Tanpa mengesampingkan tokoh-tokoh ilmuwan lainnya, Alfred North Whitehead, Fritjof Capra, Seyyed Hossein Nasr, Thomas Kuhn, adalah contoh cendikiawan-filsuf yang menyebut Deccartes dan Newton sebagai pembangun fondasi pandangan dunia peradaban modern.[1]

Pemikiran Rene Descartes (1596 – 1650), menyatakan bahwa perlunya menempatkan rasio subjek sebagai titik pangkal bahwa manusia yang berpikir sebagai pusat dunia. Subjektifitas Descartes mengacu pada aktivitas rasio subjek. Descartes berupaya mematematika-kan seluruh jenis pengetahuan manusia selaras dengan asumsi kosmologinya yang memandang alam memiliki struktur matematis. Descrates tidak menerima apapun sebagai kebenaran jika tidak dapat dideduksi dengan gambaran matematika, dari pengertian-pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat kita ragukan. Semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara deduksi matematika.
Upaya Descartes untuk mematematikasi alam mendorongnya berkesimpulan: “alam raya tak lain adalah mesin raksasa”. Keterpilahan pemikiran dengan tubuh, menjadi konsep sentral ontologi dan epistemologi Descartes yang dikenal dengan paham Dualisme. Dualisme pada gilirannya menciptakan pola pikir yang serba dikotomis atau logika biner. Dalam pandangan Descartes, alam bekerja sesuai dengan hukum-hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam alam materi dapat diterangkan dalam pengertian tatanan dan gerakan dari bagian-bagiannya. Tidak ada tujuan, kehidupan dan spirtualitas dalam alam semesta.[2]  Pemikiran Isaac Newton (1642-1727), menggabungkan mimpi visioner rasionalisme Descartes dan visi empirisme Bacon. Bacon melalui bukunya “Knowledge of power” memandang pengetahuan adalah kekuasaan dan memimpikan sebuah negara yang berteknologi tinggi, Bacon mengidentifikasi kebenaran dengan identifikasi kegunaan industrialisasi. Ilmu hanya bermakna jika dapat diterapkan secara praktis. Bacon berperan dalam mempopulerkan sains baru, yang lebih berperan sebagai pencarian kekuasaan guna mendominasi alam daripada memahami alam, sedemikian sehingga berakibat pada pemaksaan alam untuk melayani kepentingan material manusia. Prinsip ini juga mempunyai ciri dominasi manusia terhadap alam raya.[3]  Paradigma Cartesian-Newtonian disatu sisi berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang memudahkan kehidupan manusia, namun di sisi lain mereduksi kompleksitas dan kekayaan manusia itu sendiri.

Relasi Paradigma Cartesian-Newtonian dan Degradasi Lingkungan (Studi Kasus di Teluk Jakarta)
Pandangan Cartesian Newtonian ini turut berkontribusi menimbulkan krisis ekologi. Pandangannya yang mekanistik terhadap alam telah melahirkan pencemaran udara, air, tanah yang mengancam balik kehidupan manusia. Paradigma ini menimbulkan sikap-sikap yang antiekologis.[4] Manusia modern secara sadar atau tidak menganut paradigma Cartesian-Newtonian sebagai bagian, cara dan berada dalam sistem, pola serta dinamika modernisme.
Manusia modern menganggap dapat mengendalikan alam dan memiliki kekuasaan untuk mengeksploitasi alam untuk pemenuhan kebutuhannya. Peningkatan kuantitas limbah cair di Teluk Jakarta, karena manusia menganggap bahwa mereka adalah pusat alam yang dapat mengendalikan alam. Sehingga mereka memiliki hak untuk membuang limbah cair, limbah radioaktif, limbah beracun atau pun sampah ke Perairan Teluk Jakarta secara terus-menerus. Mereka tidak peduli untuk mengolah limbah dahulu agar tidak mencemari perairan, karena mereka menganggap alam adalah bagian yang terpisah dari manusia, dan menganggap kerusakan alam tidak membawa dampak pada manusia. Manusia modern tidak pula memperhitungkan bahwa alam memiliki keterbatasan dalam kemampuan pulih (self purification) sehingga tidak pula memperhitungkan kehidupan biota perairan yang tinggal dalam ekosistem Teluk Jakarta. Hal ini karena mereka menganggap perairan tersebut (alam) sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal ini sebagai tempat untuk membuang limbah.
Manusia modern menganggap alam sebagai bagian yang terpisah dari unsur manusia itu sendiri. Sehingga mereka tidak memperhitungkan bahwa degradasi lingkungan di Perairan Teluk Jakarta akan bertimbal balik merugikan mereka sendiri. Tercemarnya Perairan Teluk Jakarta dapat mengakibatkan kematian plankton, ikan serta biota air lainnya, yang sebenarnya bernilai ekonomis bagi nelayan di sekitar Teluk Jakarta. Padahal manusia membutuhkan potensi sumber daya perikanan itu sebagai protein bagi dirinya, potensi pertambangan dan energi serta sebagai bagian dari aktivitas ekonomi. Meningkatnya pencemaran logam berat di Perairan Teluk Jakarta telah terbukti merugikan kesehatan manusia, mekanisme biomagnifikasi tidak menyebabkan kematian pada ikan yang tercemar logam berat. Namun, ikan yang tercemar logam berat jika dikonsumsi manusia mengakibatkan pada kerusakan syaraf atau bahkan keracunan yang mengakibatkan kematian (contoh: keracunan merkuri di Minamata).
Jika dicermati, degradasi lingkungan di Teluk Jakarta sebenarnya berakar dari pandangan manusia tentang alam dan lingkungannya. Perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap Perairan Teluk Jakarta mengakibatkan terjadinya kerusakan di perairan tersebut. Degradasi lingkungan di Teluk Jakarta, terjadi karena ketidakpedulian manusia untuk mengkonservasi perairan.  Padahal, ekosistem perairan Teluk Jakarta, seperti terumbu karang, lamun, rumput laut dan mangrove memiliki fungsi sebagai penyangga kehidupan biota air termasuk manusia. Rusaknya ekosistem tersebut membawa dampak kematian biota laut, abrasi pantai, dan berpotensi menimbulkan bencana alam yang merugikan manusia itu sendiri.
Orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik juga sangat berpengaruh. Kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem  lingkungannya, mempunyai andil yang sangat besar terhadap terjadinya degradasi lingkungan Perairan Teluk Jakarta. Cara pandang dikotomis dan antroposentrisme memandang bahwa alam merupakan bagian terpisah dari manusia, melahirkan perilaku yang eksploitatif dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya. Manusia modern terus berupaya meningkatkan hasil produksi dari proses industri dengan mengesampingkan pengolahan limbah cair di Teluk Jakarta. Mereka tidak menyadari pembuangan limbah cair yang terus-menerus akan berdampak timbulnya kematian biota, kerusakan ekosistem dan timbulnya bencana yang merugikan dirinya sendiri.



[1] Heriyanto, Husein. 2003. Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta: Teraju. h. 2 h 27-28
[2] Ibid. h 34

[3] Descrates, Rene. 1635. Discourse on the Method. At http://www.marxists.org/reference/ar-chive/descrates/1635/discourse-method.htm
[4] Ibid hal 2-3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar