Selasa, 23 Agustus 2011

Energi Nabati dan Pengurangan Emisi Karbon


Energi nabati, tentu bukan suatu hal yang asing kan? Tulisan ini hanya untuk memotivasi para peneliti yang bergerak di energy terbarukan. Meski belum banyak teraplikasi, namun potensi energy nabati sangat besar di masa mendatang :)

Peningkatan jumlah penduduk berkorelasi positif dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, ini berdampak terhadap peningkatan kebutuhan energi di semua sektor pengguna energi. Data ESDM, konsumsi energi final (tanpa biomasa untuk rumah tangga) diperkirakan tumbuh rata-rata 6,7% per tahun. Sedangkan pangsa permintaan energi final menurut jenis, terdiri dari BBM (33,8%), gas (23,9%), listrik (20,7%), batubara (14,9%), LPG (2,6%), BBN (2,9%), dan biomasa komersial (1,1%).  Sementara itu, askes masyarakat terhadap energi (modern) masih terbatas. Rasio elektrifikasi tahun 2010 sebesar 67,2% (32,8% rumah tangga belum berlistrik). Saat ini, pengembangan infrastruktur energi di daerah perdesaan/terpencil dan pulau-pulau terluar pada umumnya belum mendapatkan akses energi.

Menurut Soerawidjaja (2010), bahan bakar nabati (BBN) adalah semua bahan bakar yang berasal dari minyak nabati. Bahan bakar nabati yang dapat dikembangkan adalah biodiesel dan bioethanol. Bahan baku hayati biofuel dapat berasal dari produk-produk pertanian yang sangat berlimpah di Indonesia. Energi nabati adalah satu-satunya sumber energi terbarukan, yang merupakan sumber daya bahan bakar jadi mampu menggantikan bahan bakar fosil dalam semua pasar energi. Sedangkan energi terbarukan yang lain, seperti sinar surya, tenaga air, tenaga angin, panas bumi, arus laut, dan lainnya, hanya mudah dikonversi menjadi listrik.  Pemanfaatan energi nabati dapat menggunakan teknologi dan mesin yang selama ini sudah matang dikembangkan untuk mendayagunakan sumber daya fosil. Sumber daya hayati Indonesia berlimbah, potensial bagi pengembangan energi nabati. Energi nabati dalam penelitian ini dikhususkan pada biomassa bahan-bahan organik dari tumbuhan.

Potensi energi nabati, yakni sumber daya hayati tersedia di semua pulau, sehingga dapat menjadi alternatif solusi bagi permasalahan kesulitan transmisi dan  distribusi listrik maupun bahan bakar minyak.  Sejauh ini, interkoneksi jaringan listrik hanya mungkin atau bernilai ekonomis untuk pulau-pulau besar dan sejumlah pulaupulau relatif kecil di dekatnya. Sejumlah besar pulau (> 10.000) harus bisa menghasilkan dan memenuhi kebutuhan bahan bakar dan listriknya sendiri (self-sufficient). Sementara, banyak propinsi dan pulau tak memiliki cadangan bahan bakar fosil yang memadai atau bahkan nihil. Bangsa Indonesia dikaruniai biodiversitas dan lahan potensial yang amat besar. Seharusnya potensi sumber daya hayati dapat didayagunakan sebagai sumber energy nabati. Hal ini mewujudkan pemanfaatan energi berkelanjutan untuk memperkuat keterjaminan pasokan energi, melancarkan pertumbuhan ekonomi yang merata, dan turut meredam emisi gas-gas rumah kaca.


Energi nabati sebagai bagian bioenergi merupakan komponen kunci dan jalur strategis dalam perjuangan mencapai Millenium Development Goals (MDGs). Oleh sebab itu, bioenergi merupakan sektor perekonomian  energi dunia yang paling dinamik dan berubah cepat.  Pertumbuhan pesat industri bahan bakar nabati (BBN, liquid biofuels) pada dekade ini telah kita alami bersama.  Pada tahun 2005, bioenergi memasok sekitar 10 % dari kebutuhan energi dunia dan merupakan 78 % dari seluruh pasokan energi terbarukan. Pemanfaatan energi nabati merupakan implementasi pemanfaatan energi ramah lingkungan yang dapat mengurangi emisi karbon. Pemanfaatan energi nabati dapat memanfaatkan inisiatif energi bersih, melalui program clean development mechanism (CDM).  Melalui CDM, Indonesia dapat mengimplementasikan pemanfaatan energi nabati, dengan berkerja sama dengan negara industri . Pada 2010, Indonesia ber komitmen penurunan emisi 26%, dan ini dapat diwujudkan dengan pemanfaatan energi nabati.

 Potensi Kekayaan Alam
Indonesia memiliki sumber-sumber energy nabati yang berlimpah. Sumber-sumber energi hijau di Indonesia yang sudah dieksploitasi di Indonesia, diantaranya adalah ubi, jarak dan  kelapa sawit. Menurut Soerawidjaja (2010), Indonesia juga harus mampu mengungkap dan merealisasikan potensi tersidik dari tumbuhan-tumbuhan energi multiguna kawasan tropik seperti :  kranji/mabai (Pongamia pinnata), nyamplung/bintangur (Calophyllum inophyllum),  nimba (Azadirachta indica),  gatep pait (Samadera indica),  jarak pagar (Jatropha curcas), kelor (Moreinga oleifera),  kacang hiris (Cajanus cajan),  sukun (Artocarpus altilis), serta  aneka alga mikro. Dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki,  Indonesia berpotensi menjadi  produser utama energy nabati di dunia dengan memproduksi BBN. Indonesia adalah negara dengan kepemilikan kapasitas & kualitas produksi BBN tertinggi dibandingkan negara- negara lain.


Potensi Mengurangi Emisi Karbon
Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan karena tidak menimbulkan emisi polutan yang berbahaya terhadap kesehatan. Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dapat menurunkan emisi bila dibandingkan dengan penggunaan minyak solar. Biodiesel terbuat dari minyak nabati yang berasal dari sumber daya yang dapat diperbaharui. Pertimbangan lain untuk penggembangkan biodiesel adalah makin tingginya harga minyak bumi dan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).

Program menurunkan emisi GRK dari segi sumber emisi (source) maupun penyediaan wadah (sink) sehingga dapat meredam pemanasan dan perubahan iklim global. Teknologi untuk mitigasi GRK dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: untuk sisi penawaran dan untuk sisi permintaan. Untuk sisi penawaran dapat dilakukan  dengan menggunakan sistem konversi yang lebih efisien, mengubah bahan bakar dari energi yang mempunyai emisi tinggi menjadi energi yang mempunyai emisi rendah, dan meningkatkan  penggunaan energi terbarukan. Untuk sisi permintaan dapat melalui demand side management dan penggunaan peralatan yang lebih efisien. Adaptasi dilakukan melalui penyesuaian sistem produksi maupun perubahan perilaku kedalam program-program baik jangka pendek, menegah dan panjang dalam rangka mengimplementasikan mitigasi GRK.

Penggunaan BBM yang merupakan bahan bakar fosil ini secara langsung akan berpengaruh pada besarnya emisi GRK. Sementara, sektor transportasi merupakan konsumen BBM terbesar di Indonesia yang mencapai 33,3 juta kl pada tahun 2005. Konsumsi BBM diperkirakan akan terus meningkat dengan pertumbuhan sebesar 6,2% per tahun. BBN merupakan energi terbarukan yang berpotensi menjadi salah satu opsi untuk mitigasi GRK di sektor tranportasi pada saat ini. Diharapkan di masa mendatang BBN juga dapat menjadi substitusi BBM di sektor lainnya. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui potensi pengurangan emisi GRK dari pemanfaatan BBN.

Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Penggunaan Biodiesel
Parameter
Unit/Tahun
Jangka Menengah (2010-2015)
Jangka Panjang (2015-2025)
Substitusi Minyak Solar
Ton minyak
6,000,000
16,000,000
Pengurangan Emisi CO2
Juta ton
19.12
50.98

Penanaman biomasa termasuk kelapa sawit merupakan sumber penyerapan CO2 karena adanya proses fotosintesis dan respirasi. Pengembangan kebun kelapa sawit dengan pola tanpa bakar (zero burning) dapat menghasilkan O2, menyerap CO2 (diprakirakan sekitar 22.470 ton CO2/ha) dan menghasilkan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Satu hektar kebun sawit yang sudah rerproduksi dapat menghasilkan biomassa berupa batang, pelepah dan tandan sawit sebesar 36 ton per tahun. Jumlah biomassa sebanyak ini dapat menyerap emisi CO2 sebanyak 25 ton per tahun dan mengubahnya menjadi udara bersih berupa O2 sebanyak 18 ton per tahun (Deptan, 2008). Potensi ini dapat ditransaksikan melalui mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism-CDM). Kegiatan sektor pertanian dan kehutanan lain yang terkait mitigasi GRK adalah: memanfaatkan biomas sebagai pengganti bahan bakar fosil, dan  perluasan areal pertanian dengan tidak membuka hutan.  by. Rahma Widhiasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar