Kamis, 30 Juni 2011

Sekilas Tentang Pencemaran Ciliwung



Beragam penelitian dan program telah dilakukan untuk Sungai Ciliwung. Namun, sungai ini tetap saja tercemar, bahkan hilir sungai telah berstatus tercemar berat. Tulisan ini sedikit mengulas tentang pencemaran di Sungai Ciliwung. Daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung adalah salah satu DAS di Indonesia, yang merupakan Urban Watershed yang perlu dikelola secara khusus (Kusmana, 2003). DAS Ciliwung memiliki luas areal 347 km2, mencangkup areal mulai dari bagian hulu di Tugu Puncak, Kabupaten Bogor sampai hilir Teluk Jakarta sebagai outlet DAS. Kegiatan pembangunan di DAS Ciliwung, baik di hulu maupun di hilir tergolong sangat intensif dan pertambahan penduduk cukup tinggi. Kegiatan pembangunan di DAS Ciliwung cenderung mengarah pada penurunan kemampuan lahan dalam meresapkan air, dan melindungi tanah dari erosi, yang pada akhirnya menyebabkan tingginya limpasan permukaan dan erosi.  

                   Sumber gambar: http://www.thejakartapost.com/files/images/p04-bbb.jpg
 
Selain air, Sungai Ciliwung juga mengalirkan sedimen dan polutan dari hulu hingga ke hilir.  Menurut Kusmana (2003), sumber pencemaran Ciliwung berasal dari limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, dan limbah peternakan. Beban  pencemaran terbesar pada parameter BOD berasal dari permukiman penduduk, terutama di daerah hulu (39 persen) dan di daerah hilir (84 persen). Adapun di daerah tengah yang melalui Kota Bogor sampai Kota Depok, sumber pencemaran didominasi oleh industri. Masing-masing sebesar 64 persen dan 86 persen. Industri yang dimaksud antara lain industri tekstil di daerah Tajur, industri kecil makanan dan minuman, serta pabrik tahu tempe yang umumnya berada di tepi sungai atau anak-anak sungai. 

Pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung masih didominasi oleh lahan pertanian dan perkebunan, yaitu 61% dari luas DAS Ciliwung hulu dan 73% DAS Ciliwung tengah (Kusmana, 2003). Kawasan hutan yang terdapat di DAS Ciliwung hulu seluas 5.310 ha. Menurut Kusmana (2003), terjadi penurunan luas hutan di Ciliwung pada tahun 2003, yakni di Ciliwung Hulu seluas 2 ha, perkebunan seluas 35 ha, sawah seluas 62 ha, dan lahan tegalan seluas 152 ha, penurunan penggunaan lahan serupa didapati juga di kawasan tengah. Peningkatan mencolok terjadi pada luas kawasan pemukiman, baik di Ciliwung Hulu maupun Tengah, masing-masing meningkat dari 255 ha menjadi 506 ha untuk Ciliwung Hulu dan dari 1.147 ha menjadi 1.961 ha untuk Ciliwung Tengah, atau peningkatan masing-masing sebesar 98% dan 71% yang diperoleh terutama dari pengurangan luas sawah dan tegalan, baik di kawasn hulu maupun tengah. 

Perubahan penggunaan lahan, serta bertambahnya kawasan pemukiman di Ciliwung Hulu dan Tengah berimplikasi pula terhadap masuknya polutan ke DAS Ciliwung. Menurut Kusmana (2003), sumber pencemaran Ciliwung berasal dari limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, dan limbah peternakan. Polutan atau sumber pencemaran yang masuk dari bagian hulu dan tengah DAS Ciliwung terus dialirkan hingga ke bagian hilir atau merupakan muara Sungai Ciliwung yang menuju estuari Teluk Jakarta.

Melalui pergerakan air sungai, aliran air larian (direct runoff), dan aliran air tanah (ground water flow), nutrien, bahan pencemar dan sedimen dari daratan akan terakumulasi di muara sungai. Sumber limbah dari kegiatan di darat, terutama dari kegiatan rumah tangga dan pertanian yang sebagian besar mengandung bahan organik (Dwiyanti, 2009). Proses penguraian bahan organik tersebut akan menghasilkan unsur hara, diantaranya adalah nitrogen (N) dan fosfor (P). Kandungan limbah organik yang berlebihan akibat pembuangan limbah organik di perairan estuari yang melebihi kemampuan daya asimilasi estuari tersebut akan menyebabkan pencemaran estuari dan menimbulkan pengkayaan nutrien berlebihan (eutrofikasi). Akumulasi beban pencemaran DAS Ciliwung yang mengalirkan limbah organik berpotensi menimbulkan pengkayaan nutrien berlebihan di Muara Sungai Cliwung (estuari Teluk Jakarta)

Keterkaitan antara dampak yang ditimbulkan oleh polutan dari Sungai Ciliwung terhadap muara Sungai Ciliwung, merupakan akibat adanya interaksi wilayah darat dengan sistem sungai, maka timbul pemikiran untuk melakukan penelitian daya tampung beban pencemaran di Muara Ciliwung. Distribusi limbah organik nitrogen (N) dan fosfor (P) dari sistem aliran Sungai Ciliwung berpengaruh terhadap proses pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) di muara Sungai Ciliwung. Wilayah kajian dalam penelitian ini adalah Muara Sungai Ciliwung, yang merupakan bagian dari perairan estuari Teluk Jakarta, serta DAS Ciliwung dari hulu hingga muara di Teluk Jakarta meliputi luas area 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah 117 km. DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun pengamatan arus sungai di Bendungan Katulampa Bogor, Ratujaya Depok dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan (Pawitan, 2002). 

Keberagaman kegiatan di sepanjang Sungai Ciliwung menimbulkan beban pencemaran yang akan terakumulasi di muara Sungai Ciliwung. Akumulasi beban pencemaran organik dari Sungai Ciliwung berkontribusi terhadap terjadinya pengayaan unsur hara (eutrofikasi) di Muara Sungai Ciliwung. Dengan demikian, hasil penelitian beban pencemaran DAS Ciliwung serta daya tampung DAS Ciliwung dapat dimanfaatkan untuk menyusun program pengelolaan sungai dalam rangka pengendalian pencemaran, termasuk pengendalian eutrofikasi di Muara Ciliwung (estuari Teluk Jakarta).

Peningkatan bahan pencemar, terutama bahan pencemar organik  terus masuk ke badan air daerah aliran Sungai Ciliwung. Beban pencemaran organik, terutama berasal dari limbah pertanian, limbah peternakan dan limbah rumah tangga. Limbah organik terurai menjadi senyawa nitrogen (N) dan fosfor (P) sebagai unsur hara, yang dalam jumlah berlebih mengakibatkan eutrofikasi. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai beban pencemaran Sungai Ciliwung yang kemudian menjadi dasar bagi penyusunan perencanaan pengelolaan sungai khusunya untuk pengendalian pencemaran bahan organik N dan P.  Sehingga sumber beban pencemaran yang masuk ke aliran sungai tidak melebihi kemampuan asimilasi sungai.

Peningkatan konsentrasi nitrogen (N) dan fosfor (P) di daerah aliran Sungai Ciliwung berpotensi menimbulkan eutrofikasi di muara Sungai Ciliwung. Saat ini, beberapa ruas Ciliwung telah tercemar berat, bahkan beban pencemarnya telah melampaui daya dukung. Beban pencemar di segmen V (Kelapa Dua-Manggrai) dan segmen VI (Manggarai-Ancol) Sungai Ciliwung telah telah melebihi kemampuan sungai untuk memulihkan diri. By. Rahma Widhiasari

Jumat, 24 Juni 2011

Waspadai Logam Berat, Polusi Air yang Berbahaya Bagi Tubuh



Air sering tercemar oleh komponen anorganik, diantaranya berbagai logam berat yang berbahaya. Beberapa logam berat kerap kali diproduksi secara rutin oleh keperluan industri. Industri-industri logam berat seharusnya mendapat pengawasan ketat sehingga tidak membahayakan bagi pekerja-pekerjanya atau pun lingkungan di sekitarnya.  Logam-logam berat yang berbahaya dan mencemari lingkungan, terutama adalah: merkuri (Hg), trimbal (Pb), arsenik (As), kadmium (Cd), chromium (Cr) dan Nikel (Ni).  Logam-logam tersebut diketahui dapat mengumpul di dalam tubuh suatu organisme , dan tetap tinggal dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama sebagai racun yang terakumulasi.

       Merkuri merupakan elemen alami, oleh karena itu sering mencemari lingkungan. Kebanyakan merkuri yang ditemukan di alam terdapat dalam gabungan dengan elemen lainnya dan jarang ditemukan dalam bentuk elemen terpisah. Komponen merkuri banyak tersebar di karang-karang, tanah, udara, air dan organisme hidup melalui proses fisik, kimia, dan biologi yang kompleks.

Penggunaan merkuri di dalam industri-industri sering menyebabkan pencemaran di lingkungan perairan. Merkuri yang terbuang ke suangai, pantai, atau badan air di sekitar industri-industri tersebut kemudian dapat mengkontaminasi ikan-ikan mahkluk air lainnya termasuk ganggang dan tanaman air. Selanjutnya ikan-ikan kecil dan mahkluk air lainnya mungkin akan dimakan oleh ikan-ikan atau hewan air lainnya yang lebih besar atau masuk ke dalam tubuh melalui insang. Ikan atau pun air lainnya (misalnya kerang) kemudian dikonsumsi manusia, sehingga manusia dapat mengumpulkan merkuri di dalam tubuhnya.

Berdasarkan hasil penelitian, pengumpulan merkuri tertinggi terdapat di dalam darah, kemudian di dalam ginjal, hati, otak, dan yang terendah dalam otot. Jika terakumulasi dalam tubuh manusia, merkuri dapat mengganggu pertumbuhan otak manusia. Merkuri anorganik mempunyai tendensi untuk terkumpul di dalam tenunan hati dan ginjal. Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan tenunan tersebut, tapi pembuangan ke luar tubuh juga lebih cepat melalui system urine.  Uap logam merkuri mempunyai kapasitas tinggi untuk terdifusi melalui paru-paru ke dalam darah, kemudian ke otak, dimana dapat terjadi kerusakan system syaraf pusat. Biasanya merkuri organik, dalam bentuk komponen tidak tinggal dalam tubuh dalam waktu cukup lama sehingga tidak terkumpul dalam jumlah yang membahayakan.Polusi timbal (Pb) dapat terjadi di udara, air maupun tanah. Ketika timbal di air tertelan tubuh manusia, tidak semua timbal akan tertinggal di dalam tubuh. Kira-kira 5 sampai 10% dari jumlah yang tertelan akan diabsorbsi melalui saluran pencernaan. Daya racun Pb di dalam tubuh diantaranya disebabkan penghambatan enzim oleh ion-ion Pb2+. Enzim yang diduga dihambat adalah yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Penghambatan tersebut disebabkan terbentuknya ikatan yang kuat (ikatan kovalen) antara Pb2+ dengan grup sulfur yang terdapat dalam asam-asam amino (misalnya cistein) dari enzim tersebut.
Pb yang tertinggal di dalam tubuh melalui makanan atau pun minuman akan mengumpul terutama di dalam skeleton (90-95%). Tulang berfungsi sebagai tempat pengumpul Pb karena sifat-sifat ion Pb2+ sama dengan Ca2+. yang mengumpul dalam skeleton kemungkinan dapat diremobilisasi ke bagian-bagian tubuh lainnya setelah absorbsi awal. Hal ini dapat terjadi misalnya selama pengobatan dengan kortison pada saat demam, atau karena umur yang sudah tua. Umur setengah Pb secara biologi di dalam tubuh manusia diperkirakan sekitar 2-3 tahun. Jumlah PB minimal di dalam darah yang dapat mengakibatkan gejala keracunan biasanya berkisar antara 60 sampai 100 mikrogram per 100 ml darah untuk orang dewasa.
Di Eropa pernah terjadi keracunan Pb beberapa tahun yang lalu yang disebabkan oleh pipa-pipa air yang dibuat dari Pb. Namun saat ini pipa-pipa air kebanyakan terbuat dari besi. Kesadahan air alami yang mengandung ion-ion karbonat (CO3-) dan sulfat (SO4-) bereaksi dengan PB membentuk lapisan pelindung yang tidak larut air yaitu PbCO3 dan PbSO4. Pencemaran Pb juga pernah dilaporkan terjadi dalam industri minuman beralkohol (wiski) yang diproduksi sebagai industri rumah, dan di dalam minuman yang diismpan di dalam wadah keramik yang dilapisi glaze.
Pada tahun 1969, dilaporkan bahwa 30% dari contoh-contoh wiski yang diproduksi sebagai industri rumah yang tidak legal di Atlanta mengandung Pb lebih dari 1 mg per liter, yaitu 20 kali melebihi batas Pb dalam air yang ditetapkan oleh Public Helath Service. Minuman-minuman berasam tinggi seperti sari buah apel dan jeruk dapat melarutkan glaze dan membebaskan Pb ke dalam minuman jika formulasi CO3- yang digunakan tidak tepat. Pada tahun 1970, dilaporkan bahwa seorang anak laki-laki di Montreal, Kanada, meninggal karena meminum sari buah yang terbuat dari tanah liat. Kemudian dianalisa, bahwa botol yang dilapisi glaze tersebut selama 3 jam mengandung 57mg Pb/l, sedangkan setelah 3 hari kandungan Pb mencapai 1300 mg Pb/l.
Logam berat lainnya yang berbahaya bagi tubuh adalah Arsenik (As), Kadmium (Cd), Chromium (Cr), Nikel (Ni). Tubuh kita memang membutuhkan logam dalam batas-batas tertentu. Namun jika kadar logam tertentu berlebihan dapat membahayakan tubuh. Jadi, kenali dari mana asal air yang Anda minum. Kemudian, cicipi sedikit air minum Anda jika berada di dekat lokasi yang potensial terpolusi. Kemudian, jika rasanya memang tidak berbeda dengan air yang biasa Anda minum, ya dihabiskan saja air putih tsb :). By. Rahma Widhiasari

Sumber: Fardias, Srikandi. 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius. Jakarta


Senin, 20 Juni 2011

Paradigma Holistik dalam Pengentasan Krisis Ekologis


Paradigma Cartesian-Newtonian telah menghegemoni cara pandang manusia modern. Paradigma ini telah menjadi bagian, cara, berada dalam sistem, pola, dan dinamika modernisme, terlepas dari kenyataan apakah manusia modern menyadari hal ini atau tidak. Pengalaman sehari-hari tidak berdiri dan lepas dari filsafat dan gambaran tentang dunia yang dianut manusia modern dipengaruhi oleh cara pandang sains modern. Heriyanto menulis:

Hegemoni Paradigma Cartesian-Newtonian terhadap pandangan dunia manusia modern terkait erat dengan kenyataan sejarah bahwa peradaban modern memang dibangun atas dasar ontologi, kosmologi, epistemologi dan metodologi yang dicanangkan oleh dua tokoh utama penggerak modernisme, yaitu Rene Descartes dan Isaac Newton.Tanpa mengesampingkan tokoh-tokoh ilmuwan lainnya, Alfred North Whitehead, Fritjof Capra, Seyyed Hossein Nasr, Thomas Kuhn, adalah contoh cendikiawan-filsuf yang menyebut Deccartes dan Newton sebagai pembangun fondasi pandangan dunia peradaban modern.[1]

Pemikiran Rene Descartes (1596 – 1650), menyatakan bahwa perlunya menempatkan rasio subjek sebagai titik pangkal bahwa manusia yang berpikir sebagai pusat dunia. Subjektifitas Descartes mengacu pada aktivitas rasio subjek. Descartes berupaya mematematika-kan seluruh jenis pengetahuan manusia selaras dengan asumsi kosmologinya yang memandang alam memiliki struktur matematis. Descrates tidak menerima apapun sebagai kebenaran jika tidak dapat dideduksi dengan gambaran matematika, dari pengertian-pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat kita ragukan. Semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara deduksi matematika.
Upaya Descartes untuk mematematikasi alam mendorongnya berkesimpulan: “alam raya tak lain adalah mesin raksasa”. Keterpilahan pemikiran dengan tubuh, menjadi konsep sentral ontologi dan epistemologi Descartes yang dikenal dengan paham Dualisme. Dualisme pada gilirannya menciptakan pola pikir yang serba dikotomis atau logika biner. Dalam pandangan Descartes, alam bekerja sesuai dengan hukum-hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam alam materi dapat diterangkan dalam pengertian tatanan dan gerakan dari bagian-bagiannya. Tidak ada tujuan, kehidupan dan spirtualitas dalam alam semesta.[2]  Pemikiran Isaac Newton (1642-1727), menggabungkan mimpi visioner rasionalisme Descartes dan visi empirisme Bacon. Bacon melalui bukunya “Knowledge of power” memandang pengetahuan adalah kekuasaan dan memimpikan sebuah negara yang berteknologi tinggi, Bacon mengidentifikasi kebenaran dengan identifikasi kegunaan industrialisasi. Ilmu hanya bermakna jika dapat diterapkan secara praktis. Bacon berperan dalam mempopulerkan sains baru, yang lebih berperan sebagai pencarian kekuasaan guna mendominasi alam daripada memahami alam, sedemikian sehingga berakibat pada pemaksaan alam untuk melayani kepentingan material manusia. Prinsip ini juga mempunyai ciri dominasi manusia terhadap alam raya.[3]  Paradigma Cartesian-Newtonian disatu sisi berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang memudahkan kehidupan manusia, namun di sisi lain mereduksi kompleksitas dan kekayaan manusia itu sendiri.

Relasi Paradigma Cartesian-Newtonian dan Degradasi Lingkungan (Studi Kasus di Teluk Jakarta)
Pandangan Cartesian Newtonian ini turut berkontribusi menimbulkan krisis ekologi. Pandangannya yang mekanistik terhadap alam telah melahirkan pencemaran udara, air, tanah yang mengancam balik kehidupan manusia. Paradigma ini menimbulkan sikap-sikap yang antiekologis.[4] Manusia modern secara sadar atau tidak menganut paradigma Cartesian-Newtonian sebagai bagian, cara dan berada dalam sistem, pola serta dinamika modernisme.
Manusia modern menganggap dapat mengendalikan alam dan memiliki kekuasaan untuk mengeksploitasi alam untuk pemenuhan kebutuhannya. Peningkatan kuantitas limbah cair di Teluk Jakarta, karena manusia menganggap bahwa mereka adalah pusat alam yang dapat mengendalikan alam. Sehingga mereka memiliki hak untuk membuang limbah cair, limbah radioaktif, limbah beracun atau pun sampah ke Perairan Teluk Jakarta secara terus-menerus. Mereka tidak peduli untuk mengolah limbah dahulu agar tidak mencemari perairan, karena mereka menganggap alam adalah bagian yang terpisah dari manusia, dan menganggap kerusakan alam tidak membawa dampak pada manusia. Manusia modern tidak pula memperhitungkan bahwa alam memiliki keterbatasan dalam kemampuan pulih (self purification) sehingga tidak pula memperhitungkan kehidupan biota perairan yang tinggal dalam ekosistem Teluk Jakarta. Hal ini karena mereka menganggap perairan tersebut (alam) sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal ini sebagai tempat untuk membuang limbah.
Manusia modern menganggap alam sebagai bagian yang terpisah dari unsur manusia itu sendiri. Sehingga mereka tidak memperhitungkan bahwa degradasi lingkungan di Perairan Teluk Jakarta akan bertimbal balik merugikan mereka sendiri. Tercemarnya Perairan Teluk Jakarta dapat mengakibatkan kematian plankton, ikan serta biota air lainnya, yang sebenarnya bernilai ekonomis bagi nelayan di sekitar Teluk Jakarta. Padahal manusia membutuhkan potensi sumber daya perikanan itu sebagai protein bagi dirinya, potensi pertambangan dan energi serta sebagai bagian dari aktivitas ekonomi. Meningkatnya pencemaran logam berat di Perairan Teluk Jakarta telah terbukti merugikan kesehatan manusia, mekanisme biomagnifikasi tidak menyebabkan kematian pada ikan yang tercemar logam berat. Namun, ikan yang tercemar logam berat jika dikonsumsi manusia mengakibatkan pada kerusakan syaraf atau bahkan keracunan yang mengakibatkan kematian (contoh: keracunan merkuri di Minamata).
Jika dicermati, degradasi lingkungan di Teluk Jakarta sebenarnya berakar dari pandangan manusia tentang alam dan lingkungannya. Perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap Perairan Teluk Jakarta mengakibatkan terjadinya kerusakan di perairan tersebut. Degradasi lingkungan di Teluk Jakarta, terjadi karena ketidakpedulian manusia untuk mengkonservasi perairan.  Padahal, ekosistem perairan Teluk Jakarta, seperti terumbu karang, lamun, rumput laut dan mangrove memiliki fungsi sebagai penyangga kehidupan biota air termasuk manusia. Rusaknya ekosistem tersebut membawa dampak kematian biota laut, abrasi pantai, dan berpotensi menimbulkan bencana alam yang merugikan manusia itu sendiri.
Orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik juga sangat berpengaruh. Kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem  lingkungannya, mempunyai andil yang sangat besar terhadap terjadinya degradasi lingkungan Perairan Teluk Jakarta. Cara pandang dikotomis dan antroposentrisme memandang bahwa alam merupakan bagian terpisah dari manusia, melahirkan perilaku yang eksploitatif dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya. Manusia modern terus berupaya meningkatkan hasil produksi dari proses industri dengan mengesampingkan pengolahan limbah cair di Teluk Jakarta. Mereka tidak menyadari pembuangan limbah cair yang terus-menerus akan berdampak timbulnya kematian biota, kerusakan ekosistem dan timbulnya bencana yang merugikan dirinya sendiri.



[1] Heriyanto, Husein. 2003. Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta: Teraju. h. 2 h 27-28
[2] Ibid. h 34

[3] Descrates, Rene. 1635. Discourse on the Method. At http://www.marxists.org/reference/ar-chive/descrates/1635/discourse-method.htm
[4] Ibid hal 2-3